Jumat, 11 Oktober 2013

SUHERLINDA

















Afrion
Suherlinda



:tentang kita

ada kata mendesak dalam setiap waktu

wajah ranum penuh bunga 
di antara senyum dan sapa

kerling bola mata

teduhkan jiwa pengembara



bila waktu memutar lingkaran

setiap kamis atau sabtu

kita bertemu



ada pinta menyapa

dalam keinginan seribu wajah kunang kunang

cahaya mengungkap makna 

di tengah aroma keindahan bunga bunga



ada wajah membayang

ada kasih yang datang

pun senyum yang lekat

menjadi igau waktu



sebab tiada keinginan selain ucapan

menyatukan dirimu dalam hidupku

dalam kesetiaan abadi



ini tentang kita

mengikat impian bersama

menyatukan hidup dalam semesta

dalam setiap waktu

merasakan kehadiranmu




2013


Jumat, 04 Oktober 2013

BUNG, AKULAH MEDAN




BUNG, AKULAH MEDAN
Karya: Afrion

Bung, akulah Medan!
sejak tanah liat coklat merah dan pasir hitam
melintasi rawa sungai sampai ke muara Selat Malaka
dari tanah setapak ganggang kecil hotmix aspal beton
sampai rumah dinding tepas gedung gedung pencakar langit

Tanah berguru Patimpus
Kolok dan Kecik berguru kepada Datuk Kota Bangun
dilindung raja dan datuk datuk
tak pernah diam sepuluh dua kuta
bertani menanam lada
menamakanku Medan Deli

Meski Laksamana Kuda Bintan Gocah Pahlawan
penakluk Gunung Klarus, Pulo Brayan, Sampali, Percut, Sigara-gara
Kota Bangun, Kota Rengas, Kota Jawa
sampai Sultan Ismail Raja Siak Sri Indrapura
menaklukan Deli, Langkat dan Serdang di Sumatera Timur

Bung, akulah Medan!
dan
Medan, kau bukan debu jalanan!

Biar tanahmu dibuldozer lalu dipancangkan tiang tiang baja
dan beton beton raksasa tumbuh mengakar
menggulung akar pohon menimbun rabung atap rumah
bangunan bangunan sejarah melarungkan darah
bau amis udara kapitalis

Biar perluasan kota menimbulkan huru hara
raung suara pergolakan membela kampung terjajah
para serdadu dengan tameng dan gas airmata
menembaki saudara bagai belatung menginjaki tumpukan jerami
menghapus jejak perjalanan masa silam

Biar disetiap jengkalnya mengalir darah ibumu
pasir dan batu bata menjadi makam makam semesta
mengepulkan debu

Biar tubuh tengkurap dihamparan retak tanah ulayat
takdir menerawang menusuk setiap perjalanan

Sebut namaku Medan
meski langit langit berwarna kelabu
menembus tujuh lapis cahaya
dan anak anak manusia tak berdaya
menghadapi tirani kekuasaan
hitam di lumut batu

Bung, akulah Medan!
dan
Medan, kau bukan debu jalanan!

Kau bukan siksa yang dibenam
bukan suara menyenandungkan lara
nyeri, perih, sedih, sakit yang mencekam


Medan, 2013