Tragedi Kampung Medan
Karya Afrion
Sekali waktu ke tanah Melayu
datang berkunjung mengetuk pintu
salam syair syairku
Syair tanah pusaka
disambut angin menggetarkan dinding
disapa kenangan sepasang kunang kunang
Di tanah peradaban ini
mengalir sungai Deli
sungai dengan kepurbaan riwayat
menyuarakan raung kepedihan
pertikaian
pemberontakan
menjelmakan ketakutan
tangis dan kematian
Oi… datukku si Guru Patimpus
daulat tuanku; abdi tubuh – abdi hidup di bumi
saban hari di sungai Deli – pertikaian tak henti
tak ada yang dapat dihalau – sampah racun limbah
menjelmakan sesak petaka tanah mati
Tidak sesejuk angin sejernih embun kampungmu kini
tak bisa lagi kunikmati harum tubuhmu
tak bisa lagi kubanggakan selain tangis penghabisan
karena sungai beracun limbah – tertikam dalam semakin dalam terbenam
sungai dengan kejernihan riwayat – telah menjelmakan raung kematian
Airmata keruh menangis di tanah guguran daun daun
sejak lama kampung diapit pohon kamboja
kepala suku empu dan datuk datuk
pulang menatapmu kini dengan wajah pucat pasi
seperti awan langit senja
pulang menatapmu kini bagai ditenung kutukan segala dewa
jadi bangkai peradaban
dihuni belulang tulang
Abdi raja mengeluh
lalu luluh tengkurap menatap petaka tanah ulayat
tanah rakyat jadi ladang pertikaian
digarap puluhan perantau
Tak ada lagi tempat menanam pangan
mendulang gabah menambang pasir batu tanah liat
Perantau menjajah tanah menguasai ladang tanah huma
membakar hutan belantara menebang pohon pohon
membangun gadung gedung mencakar langit
Oi… datukku si Guru Patimpus
daulat tuanku; abdi tubuh – abdi hidup di bumi
alangkah tidak menganakkan hidup di kampungmu kini
tidak senyaman dulu menikmati indah tubuhmu
tidak senyaman dulu menikmati sejuk hambusan angin
Dalam desah yang parau
dalam gelisah tubuh percintaan
hidupku dilamun petaka tanah hitam
didera cambuk api kesaktian dewa
Tiga puisi rumah dibawa angin
syair sepasang kupu kupu dalam badai daun berguguran
air mengalirkan segala riuh
menggali kubur tanah makam
Kegersangan tanah pusaka meraungkan tangis di ujung senja
hutan pohon trambesi entah kemana perginya
langit berkabut awan hitam memayungi kegelapan
Oi… datukku si Guru Patimpus
kutulis syair di dinding sembarang kayu
syair rumah daun pintu yang patah
syair debu sarang laba laba
sebaris kata memanjang hutan kehilangan akar
akar kehilangan air dan rimbun daun
Kepompong takkan jadi kupu kupu
Kunang kunang mati kehilangan cahaya
Sepanjang jalanan berdebu – rumah rumah rubuh
tubuh melepuh – luluh tengkurap di tepian makam
Oi… datukku si Guru Patimpus
daulat tuanku; abdi tubuh – abdi hidup di bumi
mengenang lumut pada dinding
membawa tiga pucuk daun
menuliskan syair dan buku buku
Aku syair dan buku buku
membisikkan takdir itu
dengan sekumpulan sajak abadi
mengisahkan tragedi
Medan, 2008
Selasa, 24 Oktober 2017
Pertikaian Tanah Deli
Karya Afrion
Sabanhari, sepanjang waktu di tanah Deli
pertikaian tak henti
waktu pintu terbuka
segala yang tampak melayang di udara
saling tidak mengenali tanah kelahiran
semakin jauh tertikam semakin dalam terbenam
Di sungai Deli
segala raung adalah segemuruh tubuh
menikmati air beracun limbah
tiada perahu tiada kapal berlayar ke laut bebas
sungai dengan kepurbaan riwayat
mengabur situs menjadi abu batu
Tak ada yang dapat dihalau
daulat tuanku; abdi tubuh abdi hidup di bumi
Tidak sesejuk angin sejernih mata gunung
mencium harum tubuhmu
Airmata keruh; menangis di tanah guguran daun daun
sejak lama diapit pohon kamboja
kepala suku empu dan datuk datuk
pulang menatapmu kini dengan tubuh pucat pasi
seperti awan langit senja
pulang menatapmu kini bagai ditenung segala dewa
jadi bangkai peradaban
dihuni belulang tulang
Abdi raja mengeluh luluh tengkurap
dilamun petaka tanah ulayat dijarah
digarap puluhan perantau
Tiada tempat menanam pangan
mendulang gabah
menambang batu tanah liat
Perantau menguasai laman rumah
membangun gedung gedung
membakar pohon pohon
alangkah tidak mengenakkan
tidak senyaman dulu mereka nikmati indah tubuhmu
merasakan hembusan angin turun
Sejak daun kamboja di batu cadas
menyimpan segara riuh, segemuruh napasmu
raja dalam istana tanpa tahta dan singgasana
tahun tahun gusar di tengah musim angin laut
lalu membiarkan langkah mencari suaka
meniupkan dupa untuk santapan dewa
Meneteskan airmata langit berkabut
lalu antara bayangan memanjang
melewati negeri gelap gulita
segala menghilang penuh khianat tanah huma
tanah ulayat negeri beradat
dijemput takdir kematian
Medan, 2008
Karya Afrion
Sabanhari, sepanjang waktu di tanah Deli
pertikaian tak henti
waktu pintu terbuka
segala yang tampak melayang di udara
saling tidak mengenali tanah kelahiran
semakin jauh tertikam semakin dalam terbenam
Di sungai Deli
segala raung adalah segemuruh tubuh
menikmati air beracun limbah
tiada perahu tiada kapal berlayar ke laut bebas
sungai dengan kepurbaan riwayat
mengabur situs menjadi abu batu
Tak ada yang dapat dihalau
daulat tuanku; abdi tubuh abdi hidup di bumi
Tidak sesejuk angin sejernih mata gunung
mencium harum tubuhmu
Airmata keruh; menangis di tanah guguran daun daun
sejak lama diapit pohon kamboja
kepala suku empu dan datuk datuk
pulang menatapmu kini dengan tubuh pucat pasi
seperti awan langit senja
pulang menatapmu kini bagai ditenung segala dewa
jadi bangkai peradaban
dihuni belulang tulang
Abdi raja mengeluh luluh tengkurap
dilamun petaka tanah ulayat dijarah
digarap puluhan perantau
Tiada tempat menanam pangan
mendulang gabah
menambang batu tanah liat
Perantau menguasai laman rumah
membangun gedung gedung
membakar pohon pohon
alangkah tidak mengenakkan
tidak senyaman dulu mereka nikmati indah tubuhmu
merasakan hembusan angin turun
Sejak daun kamboja di batu cadas
menyimpan segara riuh, segemuruh napasmu
raja dalam istana tanpa tahta dan singgasana
tahun tahun gusar di tengah musim angin laut
lalu membiarkan langkah mencari suaka
meniupkan dupa untuk santapan dewa
Meneteskan airmata langit berkabut
lalu antara bayangan memanjang
melewati negeri gelap gulita
segala menghilang penuh khianat tanah huma
tanah ulayat negeri beradat
dijemput takdir kematian
Medan, 2008
Langganan:
Postingan (Atom)