Jumat, 18 Februari 2011

SAY FOR LOVE

oleh Afrion Medan pada 18 Februari 2011 jam 20:31

: kepada Lina Silalahi


ini kali kukabarkan rindu pucuk kalbu

saat gerimis meniti buih dan

bias cahaya temaramkan waktu


lalu waktu

risau pengelana mencari jejak rimba

lalu jiwa menembus lara

gemetar seluruh tubuh


wajahmu

tubuhku

memagut keinginan semu


"katakan untuk cinta"

kukirimkan salam pengantin

tapi tak ingin seribu akar batang pohon

melilit keinginanku melepas keinginanmu


"katakan untuk cinta"

wajahmu

tubuhku

memagut rindu


Jumat, 04 Februari 2011

MENGAPA (HARUS) KITA

oleh Afrion Medan pada 18 Januari 2011 jam 21:31


Apa yang kan kujawab ketika tanyamu membuat suaraku parau, ketika udara meleburkan warna di tanah merekah,

bila hujan bersembunyi di balik awan, kemarau mengeringkan daun-daun,

kan kujawab kita, hanya kita, entah kita siapa tapi kita (mungkin kita yang pernah bersama)

selanjutnya tak tahu apa yang melekatkan hidupku dan hidupmu (kebersamaan?) aku menjadi ragu

lalu bayang bayang keluarga yang teduh itu menunggu dengan seribu tanya menggantung di kepala

aku ingin mengetuk pintu rumahmu, tapi waktu selalu membawaku menjauh, semakin jauh ketika tak kutemukan kau menungguku depan pintu. Semakin jauh ketika orang-orang meledek dengan kata-kata cemburu. Tapi kecurigaan itu terlalu besar dan tak mungkin kupikirkan. Biarkanlah aku jauh menuju muara yang tak tampak, biarkan aku menemukan diri dengan seribu bidadari bersama dewi shinta di angkasa maha

mengapa harus kita begitu sulit dipertemukan, karena usia yang jauh telah meretakkan keinginan, ketika keinginan menjadi lidah api yang membakar semua impian, ketika semua dalam praduga, ketika semua kemudian menjadi sia-sia

sebab tiada lagi kata-kata yang meyakinkan dirimu tentang hidupku, tak ada persentuhan keluarga selain suka dalam keinginan yang sama.

mengapa harus kita?

adakah tanya yang lebih baik dari kita yang kan diperjauhkan atau diperdekatkan tapi dengan batasan cahaya lidah api

bila sebiji kurma pun semakin terasa pahit, bagaimana aku kan menjawabnya bila lidah api semakin membara

lalu melemparkan melucuti segala keinginan diri, membawa kita menjauh, semakin jauh.. jauh...jauh

lalu aku sendiri kini, mengenangmu, mengenang keteduhan keluarga itu, mengenang suatu waktu ketika sayum sabah membisikkan sajak-sajak luka, sajak sajak batu, pohon dan dingin air

DENI

oleh Afrion Medan pada 18 Januari 2011 jam 23:00


kedamaian pada setitik cahaya... dekaplah ia dengan jabat tangan

dalam kesyahduan yang membiaskan wajah kita, wajah kata-kata dalam sajak-sajak keluarga

bersama menuangkan anggur merah jambu, melewati waktu tertentu (seperti menikmati purnama di cafe juanda), lihat setitik cahaya membesar seperti purnama, memanggilmu seperti halilintar memanggil hujan, riuh yang gelegarkan rumah cinta kita

datanglah kepadaku kabar dari tujuh naga, dalam sepuluh cerita menuangkan anggur merah jambu

kan kubawa kereta kencana dalam sajak sajak rendra, burung yang tersandung di karang batu

membaca sajak-sajak harul, tika dan pupu, mendengarkan kisah pedih annisa, tri dan ayu

kemudian bertanya kepadamu

dimanakah lainnya wahai tujuh naga

tidak kulihat robby, deni dan rudiansyah atau si mata sipit rudi saragih, selain baltimore sandiego menertawaiku

lalu melucuti sajak sajakku yang kedinginan

aku ingin, bila waktunya tiba, bersama merajut kasih asmara, dalam seribu kata, seribu impian.

IMRON

oleh Afrion Medan pada 18 Januari 2011 jam 23:39

Imron,

bila aku menyetubuhimu dengan belati, karna kata-kata tak bisa menangkap angin

jangan tertawaiku di cermin, jangan meledek dengan tangis rindu yang pecah di cermin

sebab birahi bukan anak-anak kehilangan mainan, atau perempuan malang yang celaka di hanyut riak air, bukan kedalaman yang memabukkan, bukan persetubuhan atau perselingkuhan sajak sajak manja, bukan air mata yang nyinyir tak ada hentinya, bukan getah mangga atau lendir ludah yang nestapa dan bukan siapa-siapa

ketika aku mengenalmu, kau hanya sebatang lisong yang gagu, yang tak pandai berpura pura, lucu dan ciut nyalimu. Kau tak berani menunggang kuda, mendaki bukit atau tidur dalam hutan gelap gulita. Tak berani menyapa tapi selalu menggoda perempuan pulang mengaji. Kau tak ingin sekolah karena mulutmu terkunci, tak berani berkata-kata, tak mengenal cinta.

tapi kini, kau seperti seekor singa lapar dalam gurun tandus. Mulutmu seperti gunung api yang meletuskan batu batu seperti anak badai mandi di kali berenang dan berkejaran. Sekali waktu aku membencimu karena tak pandai menggoda birahiku, sampai aku kaku dan mati sendiri.

kau tidak seperti Rudi atau deni, juga tidak seperti sukma, tapi gayamu seperti singa di afrika, nelson mandela yang hitam legam atau muhammad ali yang bertinju dengan tangan gemetar. kau seperti kuda binal yang tak faham tentang keinginan, kau hanyut dengan seribu kata-kata.

Imron,

ini aku saudaramu yang setia membaca kisah kisah asmara, jangan cemburu, jangan merayu, jaga aku sampai kita mati berdua, bersama menunggu takdir hidup.

TELE TRY

oleh Afrion Medan pada 04 Februari 2011 jam 9:48


waktu lalu

jejek bayangmu mengusik kalbu

ada tangis tertinggal

ada suara menjadi rinai gerimis

membeku membentuk bulatan kecil

lalu wajah wajah kegalauan merubah arah angin

menguji ketenangan hari

menusuk ulu hati bila risau menanti

mencengkram jiwa menembus lara


waktu merubah angin

gelegar halilintar menyambar detak jantung

gemetar tubuh seluruh

dada bagai retak kaca yang tak tampak

wajahmu luka, tubuh dipasung beribu tanya

lalu waktu membawamu pergi

lalu aku menanti

menanti

menanti


kita merasa terkalahkan oleh keadaan

kita merasa di tembus serpihan bening kaca

tak tampak oleh mata tapi terasa bagai luka

aku mendekapmu dalam luka hari hari

menanti kembali setelah kau pergi


waktu membisikkan takdir itu

aku genggam jemarimu dalam tangis pilu

tak ingin kau pergi

tak ingin aku menanti kembali


biar luka di jiwa dan pedih di mata

lalu hidup menjadi sendiri menjadi sepi

tak ingin kau pergi

tak ingin aku menanti kembali

DARA

oleh Afrion Medan pada 03 Februari 2011 jam 17:35


Aku kabut dalam celah dedaunan

antara ranting dan batang daun

jaring laba-laba dan sarang burung pipit

mengikat igau lumut batu


wajahmu angkasa memikat semesta

sabanhari ketika pulang dan pergi

kubaca sajak lirih dalam detak waktu tiba

karena aku kabut

karena dirimu


hatiku dan hatimu bersatu

dalam sajak sajak rindu

kan kunikmati selalu kisah rindang dedaunan

teduh memayungkan diriku dan dirimu


karena aku kabut

karena dirimu

biarkan waktu menghitung helai nafasku

biar kupahami makna siang dan malam


karena aku kabut

karena dirimu

dara pemikat asmara


karena aku kabut

karena dirimu

kirimkan sajak sajak pelapas dahaga


karena aku kabut

karena dirimu

syukuri kesetiaan, meski senja

merubah warna cahaya

TITAH


Oleh Afrion Medan · 23 jam yang lalu


aku mencintaimu dari waktu ke waktu

detik detik hampa kubiarkan ia merana

bila dalam lima waktu pun kita asyik mencumbu rayu

mendekap rabaan bayang

memanjang tasbih

zikir yang tak kulepas di genggam jemari

aku mencintaimu dari hati

mencintai kesucian titah kearifan

bila waktu tak cukup bagiku

bila hari harus kuakhiri

MUTHIA ADHANI

oleh Afrion Medan pada 22 Januari 2011 jam 22:59


dirimukah itu muthia

berdiri berbaju hijau daun?

dalam rimbun daun daun

tak sempat kulepas rindu menjelajahi kenangan

waktu penat membaca syair di jejak pasir

waktu kecil mengeja kata

waktu berlalu begitu saja

tak sempat kutanamkan akar batang daun

waktu kau baca sajak pilu

sajak-sajakku

luka dan pedih luka kita

kebersamaan yang hilang seketika

dirimukah itu muthia

menortor naposo bulung

di arak seribu pasangan pengantin

tetabuhkan riuh gordang sembilan

tak sempat kusentuh

rimbun daun dan lekuk tubuh

kaupun menjauh

dirimukah yang layangkan dua pucuk daun

mengirimkan salam pengantin

duduk berdua membaca kitab surga?

WANITA PEMUJA MALAM

oleh Afrion Medan pada 22 Januari 2011 jam 20:43


ini sajakku

sajak kedua selepas senja di beranda

kepadamu kutuliskan

isyarat suara menggumamkan kata

Kepadamu sajak-sajakku melantunkan doa doa

wanita pemuja malam

bila tiba malam jam berdetak sekali

gerakkan tanganmu mengeja sabda nabi

sujud bersimpuh mendekap tasbih

sujud cahaya hilangkan lara

wajahmu cahaya

hatimu cahaya

menggumamkan kata kata

Alah...Allah....Allah....

wanita pemuja malam

kepadaku tuliskanlah riwayat semesta

karena hidup dihuni petaka purba

gelisah mata segala rupa membentur jiwa

maka semailah kalbuku dengan zikir tasbihmu

biar tubuh pedih melayang

biar luka hati mengawang