Rabu, 22 Agustus 2012

MATA HATI






selalu ada suara kecipak di buih air, seakan rintih pedih
berkabar tentang lumut dan batu cadas
nganga luka sekian tahun lamanya
digerus lidah kaki pengembara 

bahkan sesudah itu
seperti meneguk tetes embun di pucuk daun

daun-daun kering di tikungan
dirajam takdir pecahan batu menelan kisah-kisah pilu
tentang pejalan yang terlanjur
tentang hidup dalam takdir pengasingan

selalu saja setelah ujur, terdengar doa kekasih
bersyukur dalam linang air mata, mengendap ke ubun-ubun
pada pucat darah gemetar seluruh rongga

harusnya aku datang padamu
selalu setiap waktu

mendengar titah membaca peta membuka rahasia
tiada menoleh lagi
susuri jalan mengikuti arah mata angin
tanpa risau digerus lidah api

ahoi
menarilah dalam senandung lidah api
di puncak mana menanti sang bidadari

dari bukit ke paruh kawah gunung
bersijingkat mencari cahaya
dimana cahaya memburu rupa
segala warna
menghapus dosa yang terkapar
menanti ajal

ahoi
datanglah kepadaku
sebelum hari penghabisan
membelah musim taman surga
datanglah meski bukan sebagai kekasih
bagi perindu yang hatinya kabut



bahwa hidup memiliki batas usia
mengakhiri perjalanan menelusuri kegelapan
membuka percakapan
menggenggam kedua telapak tangan

menanggung takdir di perantauan
mengeja sabda nabi mengharap doa kekasih
duduk dipangkuan

telah kubaca arah mata angin
di tikungan mana terdengar kabar tanah runtuh
gelombang air menggulung akar pohon
sekalipun tanah dirundung mantra segala doa
hidupkan berakhir pada masa

A. 2012