Jumat, 21 Januari 2011

PEREMPUAN PEMUJA MALAM

Ini malam serupa dara

di sinar cahaya tubuh kunang kunang

wajahnya cahaya

hatinya cahaya

Ini perempuan pemuja malam

tangan lentik menggenggam keindahan

menaburkan kisah keinginan

Perempuan pemuja malam

kukabarkan padamu tentang air dan batu batu

bila rindu menyebut namamu

Aku senandungkan zikir

dikedalaman bening air

Allah…..Allah….Allah

“Di sayum sabah aku menyelam ke dalam air

menulis puisi tentang air tentang riak gelembung

aku ambil batu lalu menulis puisi tentang batu

menggenggam pasir menulis puisi tentang pasir

Ada lumut hijau membuat batu-batu licin

Ada daun-daun kering hanyut

ada batang-batang kayu hanyut

ada nestapa di dalam hatiku

Melihat hutan bagai di sapu kemarau

melihat air bagai lumpur

Mulutku kaku tubuhku dingin membeku.”

Perempuanku pemuja malam

disini kunanti sajak-sajakmu

dilarut malam waktu tenggelam

biar mata hilang lara

biar jiwa melambungkan rasa

Fb. 2011

Rabu, 19 Januari 2011

Kampung Medan

oleh Afrion Medan pada 10 Mei 2010 jam 14:04


hari ini
tiada kudengar lagi
lantun kisahmu sepanjang waktu
menembus gelombang-merambah hutan
membuka ladang tanah huma

tiada kudengar lagi
raung suara pergolakan
penjaga kampung terjajah
selain tetabuh
menghapus jejak masa silam

dimanakah engkau
dimanakah engkau wahai datuk

kulihat angin menggulung akar pohon
tanah kelahiran dirundung nestapa
meraungkan tangis
bau amis di udara yang tipis

di jalan setapak penuh embun menenun lamun
saban hari ketika pulang dan pergi
menggantungkan lampu waktu subuh

dimanakah engkau
dimanakah engkau wahai datuk

tiada kulihat jejakmu
sepanjang gugusan lembah
-tanah merekah

selain tubuh melayang terbang
dijemput ajal
diamuk cuaca saat azan tiba

tanahmu
tanahmu kini
menjelmakan petaka
badai dan hujan

2008-2009
Kawasan Kesawan depan restoran Tiptop
kawasan Kampung Medan tempo doeloe

BUAT DE SRI

oleh Afrion Medan pada 12 Januari 2011 jam 13:04


jam yang kau sematkan di tangan kananku

menjadi igau waktu

saban hari ketika pulang dan pergi

...dari waktu ke waktu bicara sendiri

detak jantungku

Aku mengingatmu

seperti sepasang pengantin

mengulum senyum

aku memandangmu

seperti bunda menatap senja

melayangkan pikiran pikiran

menembus harapan dan impian

SAYUM SABAH

oleh Afrion Medan pada 12 Januari 2011 jam 13:44

menjajaki tangga batu di tanahmu

sayum sabah yang riuh

ranum buah coklat

dan liur air yang jatuh

di batu batu

begitulah aku mengenangmu

riak batu dan bening air

menneggelamkan kisah

asmara

dewi sintha

dua tiga tapak jejakku

tenggelam di lumut batu

lalu

dua tiga jejak bayangmu

menjadi cahaya

menerang ruang kalbu

TOBA

oleh Afrion Medan pada 12 Januari 2011 jam 15:25

menikmati arus airmu

seperti melepaskan dahaga kemarau

jejak pasir dan hijau lumut

mengusik diam batu batu

tak sempat kusentuh

rimbun daun

dan pasir di dasar air

selain terjun berenang mengikuti arus

lalu lelah pernapasan menghilangkan arah

dirimukah yang layangkan dua pucuk daun

mengirimkan salam pengantin

duduk berdua membaca kitab surga?

"aku sediam tubuh yang ringkih"

tapi tak ingin seribu akar batang pohon

melilit keinginanku

"Aku sebisu tubuh yang gagap"

berbaris menunggu waktu

buah yang ranum merubah pedih ngilu

di jejaki perantau sepanjang hari

menenun lamun sendiri

dirimukah yang layangkan dua pucuk daun?

ah tak ingin kau jauh

aku pun luluh

2010

ADEL

oleh Afrion Medan pada 14 Januari 2011 jam 23:02

matamu yang bening mengembara harungi lekuk kata

tentang cahaya juga warna yang singgah mendiami daun daun.

Meski tubuh letih dan jejak langkah mengabur disapu deru angin

tapi suaramu senandungkan riuh yang panjang

tanpa keluh

atau resah

Meski kicau burung kehilangan rimbun daun

cahaya memudar

warna menjadi gelap gulita

berkatalah ia

dalam bisik yang parau

dalam diam yang kelabu

membayangkan segala dukamu

lalu mata yang bening itu menyapu segala ragu


NEGERI HITAM

NEGERI HITAM

oleh Afrion Medan pada 15 Januari 2011 jam 1:29

inilah negeri hitam

negeri beribu kaki

jejak kakikaki bagai kuda berkejaran

kuda tanpa pelana

negeri layang layang berwarna gelap

diterbangkan angin melayang layang

menyusuri hutan rawa bangke

di tengah hutan buatan

mana arahmu mana kan kau tuju

kau tak tau

mana arahmu kutak tau

jejak menyimpan rahasia

dalam lintang pukang gairahmu

dimana kau hei...

disini katamu

tapi cuma bayang hitam menjelma cakar kuku badak

dimana kau hei...badakku

makan singkong anak anak desa katamu

karena rakusmu

hatimu yang hilang

merana tak pulang pulang

TIKA, HUJAN BELUM REDA

oleh Afrion Medan pada 17 Januari 2011 jam 23:02

kupanggil namamu dalam hujan

di antara dua jendela, membuka pintu, melayangkan pandang

menatap daun daun basah

berdiri sendiri

matamu sayu di sapu cahaya

sekilat cahaya mengabarkan rindu musim bunga


kupanggil namamu

kusebut namamu

kuseru berkali-kali


tika,

karena hujan belum reda

berteduhlah menunggu waktu

biar sendiri menanti

takkan pergi apa yang kau impi

bayangkan hujan menuliskan seribu kata

bayangkan dirimu dalam hujan kata kata

kupanggil namamu

kusebut namamu

kuseru berkali-kali

waktu musim bunga tiba

wajahmu penuh cahaya

MENGAPA (HARUS) KITA

oleh Afrion Medan pada 18 Januari 2011 jam 21:31

Apa yang kan kujawab ketika tanyamu membuat suaraku parau, ketika udara meleburkan warna di tanah merekah,

bila hujan bersembunyi di balik awan, kemarau mengeringkan daun-daun,

kan kujawab kita, hanya kita, entah kita siapa tapi kita (mungkin kita yang pernah bersama)

selanjutnya tak tahu apa yang melekatkan hidupku dan hidupmu (kebersamaan?) aku menjadi ragu

lalu bayang bayang keluarga yang teduh itu menunggu dengan seribu tanya menggantung di kepala

aku ingin mengetuk pintu rumahmu, tapi waktu selalu membawaku menjauh, semakin jauh ketika tak kutemukan kau menungguku depan pintu. Semakin jauh ketika orang-orang meledek dengan kata-kata cemburu. Tapi kecurigaan itu terlalu besar dan tak mungkin kupikirkan. Biarkanlah aku jauh menuju muara yang tak tampak, biarkan aku menemukan diri dengan seribu bidadari bersama dewi shinta di angkasa maha

mengapa harus kita begitu sulit dipertemukan, karena usia yang jauh telah meretakkan keinginan, ketika keinginan menjadi lidah api yang membakar semua impian, ketika semua dalam praduga, ketika semua kemudian menjadi sia-sia

sebab tiada lagi kata-kata yang meyakinkan dirimu tentang hidupku, tak ada persentuhan keluarga selain suka dalam keinginan yang sama.

mengapa harus kita?

adakah tanya yang lebih baik dari kita yang kan diperjauhkan atau diperdekatkan tapi dengan batasan cahaya lidah api

bila sebiji kurma pun semakin terasa pahit, bagaimana aku kan menjawabnya bila lidah api semakin membara

lalu melemparkan melucuti segala keinginan diri, membawa kita menjauh, semakin jauh.. jauh...jauh

lalu aku sendiri kini, mengenangmu, mengenang keteduhan keluarga itu, mengenang suatu waktu ketika sayum sabah membisikkan sajak-sajak luka, sajak sajak batu, pohon dan dingin air


DENI

DENI

oleh Afrion Medan pada 18 Januari 2011 jam 23:00

kedamaian pada setitik cahaya... dekaplah ia dengan jabat tangan

dalam kesyahduan yang membiaskan wajah kita, wajah kata-kata dalam sajak-sajak keluarga

bersama menuangkan anggur merah jambu, melewati waktu tertentu (seperti menikmati purnama di cafe juanda), lihat setitik cahaya membesar seperti purnama, memanggilmu seperti halilintar memanggil hujan, riuh yang gelegarkan rumah cinta kita

datanglah kepadaku kabar dari tujuh naga, dalam sepuluh cerita menuangkan anggur merah jambu

kan kubawa kereta kencana dalam sajak sajak rendra, burung yang tersandung di karang batu

membaca sajak-sajak harul, tika dan pupu, mendengarkan kisah pedih annisa, tri dan ayu

kemudian bertanya kepadamu


dimanakah lainnya wahai tujuh naga

tidak kulihat robby, deni dan rudiansyah atau si mata sipit rudi saragih, selain baltimore sandiego menertawaiku

lalu melucuti sajak sajakku yang kedinginan

aku ingin, bila waktunya tiba, bersama merajut kasih asmara, dalam seribu kata, seribu impian.

IMRON

IMRON

oleh Afrion Medan pada 18 Januari 2011 jam 23:39


Imron,

bila aku menyetubuhimu dengan belati, karna kata-kata tak bisa menangkap angin

jangan tertawaiku di cermin, jangan meledek dengan tangis rindu yang pecah di cermin

sebab birahi bukan anak-anak kehilangan mainan, atau perempuan malang yang celaka di hanyut riak air, bukan kedalaman yang memabukkan, bukan persetubuhan atau perselingkuhan sajak sajak manja, bukan air mata yang nyinyir tak ada hentinya, bukan getah mangga atau lendir ludah yang nestapa dan bukan siapa-siapa

ketika aku mengenalmu, kau hanya sebatang lisong yang gagu, yang tak pandai berpura pura, lucu dan ciut nyalimu. Kau tak berani menunggang kuda, mendaki bukit atau tidur dalam hutan gelap gulita. Tak berani menyapa tapi selalu menggoda perempuan pulang mengaji. Kau tak ingin sekolah karena mulutmu terkunci, tak berani berkata-kata, tak mengenal cinta.

tapi kini, kau seperti seekor singa lapar dalam gurun tandus. Mulutmu seperti gunung api yang meletuskan batu batu seperti anak badai mandi di kali berenang dan berkejaran. Sekali waktu aku membencimu karena tak pandai menggoda birahiku, sampai aku kaku dan mati sendiri.

kau tidak seperti Rudi atau deni, juga tidak seperti sukma, tapi gayamu seperti singa di afrika, nelson mandela yang hitam legam atau muhammad ali yang bertinju dengan tangan gemetar. kau seperti kuda binal yang tak faham tentang keinginan, kau hanyut dengan seribu kata-kata.

Imron,

ini aku saudaramu yang setia membaca kisah kisah asmara, jangan cemburu, jangan merayu, jaga aku sampai kita mati berdua, bersama menunggu takdir hidup.

Sabtu, 15 Januari 2011

KAMPUNG MEDAN

hari ini
tiada kudengar lagi
lantun kisahmu sepanjang waktu
menembus gelombang-merambah hutan
membuka ladang tanah huma

tiada kudengar lagi
raung suara pergolakan
penjaga kampung terjajah
selain tetabuh
menghapus jejak masa silam

dimanakah engkau
dimanakah engkau wahai datuk

kulihat angin menggulung akar pohon
tanah kelahiran dirundung nestapa
meraungkan tangis
bau amis di udara yang tipis

di jalan setapak penuh embun menenun lamun
saban hari ketika pulang dan pergi
menggantungkan lampu waktu subuh

dimanakah engkau
dimanakah engkau wahai datuk

tiada kulihat jejakmu
sepanjang gugusan lembah
-tanah merekah

selain tubuh melayang terbang
dijemput ajal
diamuk cuaca saat azan tiba

tanahmu
tanahmu kini
menjelmakan petaka
badai dan hujan

2008-2009