Rabu, 19 Januari 2011

MENGAPA (HARUS) KITA

oleh Afrion Medan pada 18 Januari 2011 jam 21:31

Apa yang kan kujawab ketika tanyamu membuat suaraku parau, ketika udara meleburkan warna di tanah merekah,

bila hujan bersembunyi di balik awan, kemarau mengeringkan daun-daun,

kan kujawab kita, hanya kita, entah kita siapa tapi kita (mungkin kita yang pernah bersama)

selanjutnya tak tahu apa yang melekatkan hidupku dan hidupmu (kebersamaan?) aku menjadi ragu

lalu bayang bayang keluarga yang teduh itu menunggu dengan seribu tanya menggantung di kepala

aku ingin mengetuk pintu rumahmu, tapi waktu selalu membawaku menjauh, semakin jauh ketika tak kutemukan kau menungguku depan pintu. Semakin jauh ketika orang-orang meledek dengan kata-kata cemburu. Tapi kecurigaan itu terlalu besar dan tak mungkin kupikirkan. Biarkanlah aku jauh menuju muara yang tak tampak, biarkan aku menemukan diri dengan seribu bidadari bersama dewi shinta di angkasa maha

mengapa harus kita begitu sulit dipertemukan, karena usia yang jauh telah meretakkan keinginan, ketika keinginan menjadi lidah api yang membakar semua impian, ketika semua dalam praduga, ketika semua kemudian menjadi sia-sia

sebab tiada lagi kata-kata yang meyakinkan dirimu tentang hidupku, tak ada persentuhan keluarga selain suka dalam keinginan yang sama.

mengapa harus kita?

adakah tanya yang lebih baik dari kita yang kan diperjauhkan atau diperdekatkan tapi dengan batasan cahaya lidah api

bila sebiji kurma pun semakin terasa pahit, bagaimana aku kan menjawabnya bila lidah api semakin membara

lalu melemparkan melucuti segala keinginan diri, membawa kita menjauh, semakin jauh.. jauh...jauh

lalu aku sendiri kini, mengenangmu, mengenang keteduhan keluarga itu, mengenang suatu waktu ketika sayum sabah membisikkan sajak-sajak luka, sajak sajak batu, pohon dan dingin air