Senin, 19 September 2011

HUJAN DI MATAMU


Jejak-jejak di bawah rimbun bulu mataku

Kupayungi bila hujan mulai menggoda merayu.

Tak akan terhapus, meski merah itu kian mengusam katamu


lalu apa kataku saat kau menyapa takjub pada merah payung

dan jejak kaki dalam hujan di matamu


astari

ada retak di tatap mata menghunjam dalam diam

membenam menerawang gelisah wajah

pucuk daun layu dan terjatuh

tanah leburkan pasir

pada genangan pasir

lumpur mengibaskan mata air


Hidupmu astari

seperti desah angin menyentuh ruang semesta

mendekapku dalam genangan hujan

melepas syair merah payung

mencipta jejak kaki menuntunku ke dermaga

di batas rasa dimana kau berdiri melambai tangan

menatap kenangan persahabatan


2011

HALIMAH JUNIAR GADIS KECILKU


dalam pijar matamu kusapa cahaya kata kata

membangunkanku dari lelap sendiri memetik pelangi menjadi api

laksana halilintar - riuh menggelegar -

menumpuk jiwa seketika membuka jalan ke ladang huma

ladang penuh kata kata


ajari aku puisi katamu

puisi anak adam mendekap duka segala jaman

suara pilu perempuan yang tak bisa menggenggam awan

kepada hujan menjadikan petir pahit dan getir

menjadikan perih tiada dalam semesta

tubuh menjelma hawa surga


dan apa yang kau pinta

bila pagi membangunkanku bertualang

membawa sekumpulan syair dan buku buku

menyusuri ladang ladang huma - jiwa sang bidadari -


meniup tubuh riuh kecapi

tubuh kecapi senandungkan rupa gadis rupawan dalam buaian

bagimu puisi adalah suara

hidup bagi semua

mengobati luka


2011

Sabtu, 17 September 2011

EVA INGIN HIDUP


EVA INGIN HIDUP

oleh Afrion Medan pada 17 September 2011 jam 16:35


dalam selembar daun

lengkung matamu menyapu kabut tipis

menghanyutkan rindu pada tubuh

pada celah rahasia dalam dada pada segala rasa


selepas hujan mengguyur awan hitam

kau menguak riwayat perjalanan

lalu daun daun melayang

mengitari bukit tujuh warna pelangi


sajak pertama katamu

"aku menyimpan luka diselipan sapu tanganku"

"bila luka itu kambuh segera kusapu, kusembunyikan dahulu"


langit kelam berkabut, suara sayup geliat bukit kapur

di matamu batu batu pecah

batu bukit kapur batu prahara memendam luka


" aku ingin hidup bahagia " katamu

"sukaku adalah sajakmu"

"jika kau lupa mengirimnya aku pun terluka"


tiga sajak luka terdampar di matamu

disemai tinta darah mengucur dalam diam

diam yang perih berkelana

berharap nestapa tak lagi menyapa


pada selembar daun

kau tulis duka sajak ketiga

menembus lara mengitari nestapa

menghilangkan tangis pedih di jiwa

SELEMBAR DAUN BUAT AYU


jejakmu mengakar diserat daun

daun daun tumbuh mengukir sabda

lalu datanglah kepadaku sebait syair

wajah wangi bunga penuh cahaya

di dasar jiwa berkelana riak gemericik air

membawa syair

syair pengembara


bahwa kita telah lama hidup

di tengah gemuruh rahasia kata kata

duduk bersimpuh menuliskan kata kata

merasakan keganjilan jatuh terburai

merasakan kenikmatan percakapan

melantunkan impian jauh mengawang


seperti angin melepas gelombang laut

pecah di pantai pasir


kau mengingatkanku selalu setiap waktu

dalam setiap temu

kisah air dalam hujan pagi

di ujung muara bisikkan takdir

untuk kehidupan akhir

Jumat, 16 September 2011

TWIE


TWIE


mengenang hujan memetik bunga

kau altar di langit jiwa, teduh yang membentang aura

pergilah ucapmu dari balik jendela

aku terharu dalam kemelut waktu yang sia sia, mencari

meniti jembatan menelikung simpang memanjang


pergilah katamu

merubah arah angin

menemu ketenangan hati


lalu apa yang kan dituju bila jalan dalam sekumpulan ilalang

di jaring sarang laba laba hitam


waktu merubah arah angin

kabut menghitam petir menyambar detak jantung

sakit tubuh seluruh

wajah bagai gulita malam

lalu hidup disekap ruang udara hampa

lalu aku menunggu


menunggu waktu merubah arah angin

mendekap bayangmu

dalam duka hari hari

menanti kau kembali

biar luka di jiwa sirna seketika

2011

EA CUTEH



bila riak air menggelembung dalam diam

seperti takut yang tiba dipalung dendam

dicakar tubuh dibayang mimpi

menghunjam dalam
menjadi sakit
menjadi igau pedih

tengadahlah


bila isyarat kata tak juga menyembuh luka

lalu tangis menggenang dilengkung jejak perjalanan

jauhkan mata menatap duka nestapa


ini hidup penuh rahasia

bagai angin di gurun

prahara di padang semesta

ini sajakku

sajak pertama sebelum magrib tiba

kepadamu kukirimkan

nyala api melantunkan riuh bidadari

menjelajah waktu melepas beban pikiran


bila sepi menyekap diri

jauhkan tubuh mengenang lembar riwayat

jauhkan retak dari dendam pertikaian

kembali ke mihrab


2011

DALAM PERJALANAN


: Saripa Cyg LuIpa


bila waktu habis dilumut batu

tulislah kata mengeja nama

dalam titik yang gemerlap berupa warna

warna warna embun menitik daun


kita pengembara tak ingin kemudi patah

seperti patah ombak memecah batu

seperti ranting meranggas tanpa daun

biar dalam selubuk pada muara yang jauh

lengkung perjalanan menikung melampui batas

tengadahlah


kita akan melangkah, terus melangkah

sampai tiba cahaya akhir menuju takdir

lalu bersedekab membaca doa

doa pengembara


bacalah kata mengeja nama

dalam sentuhan titik cahaya

juga suara melafazkan takbir


2011

Rabu, 30 Maret 2011

IA PEREMPUAN ITU, BERGAUN MERAH, BERDIRI DI ATAS ALTAR DINDING MASJIDMU


: Kiki Fazrina


sekali waktu

menunggu dalam altar masjidMu

membaca gelagah daun basah

semak belukar taman dan kejaiban alam


sekali waktu

kita bertemu mencipta lingkaran

perlahan mengambang

menyeruput sayup irama bentang sajadah

antara mihrab pembatas dan tipis tirai putih


sekali waktu sepi, rindu

menatap lengang kubah

terperangah


ia perempuan itu bergaun merah datang bersembah

dalam nyala rindu sepi sajadah

sekali berdiri seribu lantun lepas


di bibir yang merontakan lafaz takbir

ia sertakan doa melepas beban

berkali-kali di setiap lekuk altar


sekali waktu menunggu

di sembahyang fardhu

setiap daun tumbuh

tubuh mengakar dilengkung pilar

PEREMPUAN YANG TERSENYUM PADA CERMIN, LAILAN SYAFIRA JELAJAHI LAUT SEMESTA



Sulit kuterka garis lekuk wajahmu

dalam hening waktu

dalam altar jiwa melenakan irama alif ba ta


Bla waktu mengeja nama

setiap kali kudengar suara

kau asmara di lekuk sabda

menjelajahi rupa melantunkan doa-doa


aku terharu

hari terasa begitu sempit

sekejab hilang sekejab wajahmu datang

membayang


Ini mata sulit menerka

bila berkaca menuai alif ba ta

sabda firman Tuhan


Ini hati begitu gemetar berdebar

Sebab tubuh luluh menguji lekuk riwayat

lalu waktu setia menunggu

malaikat mencatat riwayat akhirat

menjelajahi hidup sempurna dalam semesta


lenalah tidurmu

menyemai zikir

menghitung tasbih

Allah Allah Allah

WAJAH SERUPA CAHAYA

:Ulfa dan Winda

dalam sajak ada kata terpendam

ada bunyi yang riuh

tertahan riak gelombang

lalu

tatap mata cahaya

lebih dari sekedar cahaya

biar impian tak terhenti dalam jiwa

karena kau adalah mahkota

jiwa keindahan dalam sukma

hidupmu tawa

senyum penuh pesona

dalam tanya yang panjang

ketika segelas kopi menjadi dingin dilumat embun

hari telah larut dan kata tak juga surut

membiaskan cahaya

mengelana terhuyung dan termangu

merasakan getar jiwamu

MENGAPA HARUS CINTA

mengapa harus cinta, begitulah kutanya padamu, kekasihku

di antara daun daun, kicau burung dan desir angin

menatap udara basah embun


apa yang kan kujawab, sayangku

ketika tanyamu membuat suaraku parau

ketika udara meleburkan warna di tanah merekah


bila hujan bersembunyi di balik awan

kemarau mengeringkan daun-daun,

katakanlah kita, karena kita telah dipersatukan oleh cinta

bukan karena kehendak siapa-siapa


cinta melekatkan hidupku dan hidupmu

jangan ragu bila bayang bayang keluarga

menunggu dengan seribu tanya menggantung di kepala


aku ingin kau mengerti

apa yang kupikirkan kini

antara kita - hidup kita – cinta kita


Biarkanlah cinta bertualang menuju muara yang tak tampak

biarkan cinta menyelami kedalaman kalbu


mengapa harus cinta, begitulah kutanya padamu, kekasihku

di antara daun daun, kicau burung dan desir angin

menatap udara basah embun


mengapa harus kita perdebatkan

bila perdebatan meretakkan keinginan

ketika keinginan menjadi lidah api yang membakar semua impian

ketika semua dalam praduga, ketika semua kemudian menjadi sia-sia


sebab tiada kata dapat terucap

mengungkap hidupku meyakinkan dirimu

selain cinta dalam keinginan yang sama


adakah ragu lebih baik dari tanya, cintaku

bila sebiji kurma pun semakin terasa pahit

bagaimana aku kan menjawabnya


aku mencintaimu seperti cahaya

lidah api membarakan cahaya

menyinari keinginan diri

membawa kita menjauh

semakin jauh

menggelorakan asmara




DARA


Aku kabut dalam celah dedaunan

antara ranting dan batang daun

jaring laba-laba dan sarang burung pipit

mengikat igau lumut batu


wajahmu angkasa memikat semesta

sabanhari ketika pulang dan pergi

kubaca sajak lirih dalam detak waktu tiba

karena aku kabut

karena dirimu


hatiku dan hatimu bersatu

dalam sajak sajak rindu

kan kunikmati selalu kisah rindang dedaunan

teduh memayungkan diriku dan dirimu


karena aku kabut

karena dirimu

biarkan waktu menghitung helai nafasku

biar kupahami makna siang dan malam


karena aku kabut

karena dirimu

dara pemikat asmara


karena aku kabut

karena dirimu

kirimkan sajak sajak pelapas dahaga


karena aku kabut

karena dirimu

syukuri kesetiaan, meski senja

merubah warna cahaya

Jumat, 18 Februari 2011

SAY FOR LOVE

oleh Afrion Medan pada 18 Februari 2011 jam 20:31

: kepada Lina Silalahi


ini kali kukabarkan rindu pucuk kalbu

saat gerimis meniti buih dan

bias cahaya temaramkan waktu


lalu waktu

risau pengelana mencari jejak rimba

lalu jiwa menembus lara

gemetar seluruh tubuh


wajahmu

tubuhku

memagut keinginan semu


"katakan untuk cinta"

kukirimkan salam pengantin

tapi tak ingin seribu akar batang pohon

melilit keinginanku melepas keinginanmu


"katakan untuk cinta"

wajahmu

tubuhku

memagut rindu


Jumat, 04 Februari 2011

MENGAPA (HARUS) KITA

oleh Afrion Medan pada 18 Januari 2011 jam 21:31


Apa yang kan kujawab ketika tanyamu membuat suaraku parau, ketika udara meleburkan warna di tanah merekah,

bila hujan bersembunyi di balik awan, kemarau mengeringkan daun-daun,

kan kujawab kita, hanya kita, entah kita siapa tapi kita (mungkin kita yang pernah bersama)

selanjutnya tak tahu apa yang melekatkan hidupku dan hidupmu (kebersamaan?) aku menjadi ragu

lalu bayang bayang keluarga yang teduh itu menunggu dengan seribu tanya menggantung di kepala

aku ingin mengetuk pintu rumahmu, tapi waktu selalu membawaku menjauh, semakin jauh ketika tak kutemukan kau menungguku depan pintu. Semakin jauh ketika orang-orang meledek dengan kata-kata cemburu. Tapi kecurigaan itu terlalu besar dan tak mungkin kupikirkan. Biarkanlah aku jauh menuju muara yang tak tampak, biarkan aku menemukan diri dengan seribu bidadari bersama dewi shinta di angkasa maha

mengapa harus kita begitu sulit dipertemukan, karena usia yang jauh telah meretakkan keinginan, ketika keinginan menjadi lidah api yang membakar semua impian, ketika semua dalam praduga, ketika semua kemudian menjadi sia-sia

sebab tiada lagi kata-kata yang meyakinkan dirimu tentang hidupku, tak ada persentuhan keluarga selain suka dalam keinginan yang sama.

mengapa harus kita?

adakah tanya yang lebih baik dari kita yang kan diperjauhkan atau diperdekatkan tapi dengan batasan cahaya lidah api

bila sebiji kurma pun semakin terasa pahit, bagaimana aku kan menjawabnya bila lidah api semakin membara

lalu melemparkan melucuti segala keinginan diri, membawa kita menjauh, semakin jauh.. jauh...jauh

lalu aku sendiri kini, mengenangmu, mengenang keteduhan keluarga itu, mengenang suatu waktu ketika sayum sabah membisikkan sajak-sajak luka, sajak sajak batu, pohon dan dingin air

DENI

oleh Afrion Medan pada 18 Januari 2011 jam 23:00


kedamaian pada setitik cahaya... dekaplah ia dengan jabat tangan

dalam kesyahduan yang membiaskan wajah kita, wajah kata-kata dalam sajak-sajak keluarga

bersama menuangkan anggur merah jambu, melewati waktu tertentu (seperti menikmati purnama di cafe juanda), lihat setitik cahaya membesar seperti purnama, memanggilmu seperti halilintar memanggil hujan, riuh yang gelegarkan rumah cinta kita

datanglah kepadaku kabar dari tujuh naga, dalam sepuluh cerita menuangkan anggur merah jambu

kan kubawa kereta kencana dalam sajak sajak rendra, burung yang tersandung di karang batu

membaca sajak-sajak harul, tika dan pupu, mendengarkan kisah pedih annisa, tri dan ayu

kemudian bertanya kepadamu

dimanakah lainnya wahai tujuh naga

tidak kulihat robby, deni dan rudiansyah atau si mata sipit rudi saragih, selain baltimore sandiego menertawaiku

lalu melucuti sajak sajakku yang kedinginan

aku ingin, bila waktunya tiba, bersama merajut kasih asmara, dalam seribu kata, seribu impian.

IMRON

oleh Afrion Medan pada 18 Januari 2011 jam 23:39

Imron,

bila aku menyetubuhimu dengan belati, karna kata-kata tak bisa menangkap angin

jangan tertawaiku di cermin, jangan meledek dengan tangis rindu yang pecah di cermin

sebab birahi bukan anak-anak kehilangan mainan, atau perempuan malang yang celaka di hanyut riak air, bukan kedalaman yang memabukkan, bukan persetubuhan atau perselingkuhan sajak sajak manja, bukan air mata yang nyinyir tak ada hentinya, bukan getah mangga atau lendir ludah yang nestapa dan bukan siapa-siapa

ketika aku mengenalmu, kau hanya sebatang lisong yang gagu, yang tak pandai berpura pura, lucu dan ciut nyalimu. Kau tak berani menunggang kuda, mendaki bukit atau tidur dalam hutan gelap gulita. Tak berani menyapa tapi selalu menggoda perempuan pulang mengaji. Kau tak ingin sekolah karena mulutmu terkunci, tak berani berkata-kata, tak mengenal cinta.

tapi kini, kau seperti seekor singa lapar dalam gurun tandus. Mulutmu seperti gunung api yang meletuskan batu batu seperti anak badai mandi di kali berenang dan berkejaran. Sekali waktu aku membencimu karena tak pandai menggoda birahiku, sampai aku kaku dan mati sendiri.

kau tidak seperti Rudi atau deni, juga tidak seperti sukma, tapi gayamu seperti singa di afrika, nelson mandela yang hitam legam atau muhammad ali yang bertinju dengan tangan gemetar. kau seperti kuda binal yang tak faham tentang keinginan, kau hanyut dengan seribu kata-kata.

Imron,

ini aku saudaramu yang setia membaca kisah kisah asmara, jangan cemburu, jangan merayu, jaga aku sampai kita mati berdua, bersama menunggu takdir hidup.

TELE TRY

oleh Afrion Medan pada 04 Februari 2011 jam 9:48


waktu lalu

jejek bayangmu mengusik kalbu

ada tangis tertinggal

ada suara menjadi rinai gerimis

membeku membentuk bulatan kecil

lalu wajah wajah kegalauan merubah arah angin

menguji ketenangan hari

menusuk ulu hati bila risau menanti

mencengkram jiwa menembus lara


waktu merubah angin

gelegar halilintar menyambar detak jantung

gemetar tubuh seluruh

dada bagai retak kaca yang tak tampak

wajahmu luka, tubuh dipasung beribu tanya

lalu waktu membawamu pergi

lalu aku menanti

menanti

menanti


kita merasa terkalahkan oleh keadaan

kita merasa di tembus serpihan bening kaca

tak tampak oleh mata tapi terasa bagai luka

aku mendekapmu dalam luka hari hari

menanti kembali setelah kau pergi


waktu membisikkan takdir itu

aku genggam jemarimu dalam tangis pilu

tak ingin kau pergi

tak ingin aku menanti kembali


biar luka di jiwa dan pedih di mata

lalu hidup menjadi sendiri menjadi sepi

tak ingin kau pergi

tak ingin aku menanti kembali

DARA

oleh Afrion Medan pada 03 Februari 2011 jam 17:35


Aku kabut dalam celah dedaunan

antara ranting dan batang daun

jaring laba-laba dan sarang burung pipit

mengikat igau lumut batu


wajahmu angkasa memikat semesta

sabanhari ketika pulang dan pergi

kubaca sajak lirih dalam detak waktu tiba

karena aku kabut

karena dirimu


hatiku dan hatimu bersatu

dalam sajak sajak rindu

kan kunikmati selalu kisah rindang dedaunan

teduh memayungkan diriku dan dirimu


karena aku kabut

karena dirimu

biarkan waktu menghitung helai nafasku

biar kupahami makna siang dan malam


karena aku kabut

karena dirimu

dara pemikat asmara


karena aku kabut

karena dirimu

kirimkan sajak sajak pelapas dahaga


karena aku kabut

karena dirimu

syukuri kesetiaan, meski senja

merubah warna cahaya

TITAH


Oleh Afrion Medan · 23 jam yang lalu


aku mencintaimu dari waktu ke waktu

detik detik hampa kubiarkan ia merana

bila dalam lima waktu pun kita asyik mencumbu rayu

mendekap rabaan bayang

memanjang tasbih

zikir yang tak kulepas di genggam jemari

aku mencintaimu dari hati

mencintai kesucian titah kearifan

bila waktu tak cukup bagiku

bila hari harus kuakhiri

MUTHIA ADHANI

oleh Afrion Medan pada 22 Januari 2011 jam 22:59


dirimukah itu muthia

berdiri berbaju hijau daun?

dalam rimbun daun daun

tak sempat kulepas rindu menjelajahi kenangan

waktu penat membaca syair di jejak pasir

waktu kecil mengeja kata

waktu berlalu begitu saja

tak sempat kutanamkan akar batang daun

waktu kau baca sajak pilu

sajak-sajakku

luka dan pedih luka kita

kebersamaan yang hilang seketika

dirimukah itu muthia

menortor naposo bulung

di arak seribu pasangan pengantin

tetabuhkan riuh gordang sembilan

tak sempat kusentuh

rimbun daun dan lekuk tubuh

kaupun menjauh

dirimukah yang layangkan dua pucuk daun

mengirimkan salam pengantin

duduk berdua membaca kitab surga?