Kamis, 31 Januari 2008

Tentang Aceh


(bergulungan ombak memecah daratan)

Inilah ziarahku setelah gelombang tenang
membentang senandung ayat-ayat suci takbir Ilahi
sebagaimana dulu aku mengenalmu
dalam puisi nyanyian melelapkan tidur
meneteskan embun memandikan pagi

Meski laut telah mengantarkan maut
sebelum sempat kubangun angan dan harapan

Aku tahu begitu beratnya kematian
sakratul maut menyentak kalbu di ujung batas usia

Tuhanku,
ceritakanlah tentang Aceh
tentang gelombang laut menghantam wajah-wajah kemiskinan
tentang amuk perang meninggalkannya dalam kesulitan
gelombang itu pun meninggalkan Aceh dengan ketidakberdayaan

Akankah Aceh bangkit dari tidur lelap?
sedang di mataku
ia bagai malam menembus gelap
pertempuran melumpuhkan segala

di langit cuaca berkabut
angin melantunkan tangis perempuan-perempuan berjilbab
menidurkan anak sambil melantun syair sabil
merentang arah – memendam amarah

Medan, 2005

Puncak

tiba senja
melabuh jiwa
tepi cahaya
semesta

dalam menanti kelam
ia mengerling janji itu
membuka mata lebar-lebar
hai!
kaukah itu?

di puncak
tengah salju
airmata haru
menatap wajahmu

udara hampa
maha kuasa

segala penjuru
ia teriak
hai!
kaukah itu?

mari bersiap
di puncak orang orang rebah
menunggu

menanti pintu
manakah pintu?

1987 – 2008

Rabu, 30 Januari 2008

Bumi


(di tengah musim)


jika menjadi ibu
dikepalanya penuh kunang-kunang

jika menjadi abu
habislah sudah cahaya kehidupan

jangan pernah tak bertenaga membuka suara
membentang pergolakan – mengabarkan perilaku
tentang tangis dan penindasan
berpuluh gundah
hak yang ditelantarkan
kehidupan yang dinistakan

terbuang jadi debu di tengah musim; masa yang suram
bukan mengiris kenangan
amuk perang, senjata, dan pembodohan
bukan lorong labirin
menenggelamkan sejarah peradaban
bukan bumi dikelilingi dataran yang rumit
penuh sukacita atau tabung kaca
tempat kau merayakan pesta
melepas lelah, tidur dan jumpalitan

pada selembar surat yang kutulis
pandanganku teriris-iris

bahwa aku menghempang kematian menjadi abu
atau menjadi patung batu
monumen
sejarah
berziarahlah membuka sejarah
kota dan kehidupan
kugantikan pisau batu dengan baja bermata seribu

setajam bibir ombak menguras pasir di pantai
sesekali ke tengah
berenangan dengan angan-angan
menjadi beribu pisau
pisau-pisau peradaban kebudayaan

Medan, 2005

Selasa, 29 Januari 2008

M. Raudah Jambak



Sedekat Apa

jika hutan bukit dan gunung sepanjang bayangmu
sedekat apa menjejaki jalan berliku
segalanya tiada batas juga tiada keraguan
air api dan bumi
bagi mereka melatalata
gurun dan pasir
batu dan kerikil
tiada rupa tiada kecemasan
jika maut dan azab segulung lidah
bias cahaya menghilang jejak dituju

Rendra, Gunawan Muhammad, Taufik Ismail, Kepadamu Sekalian Makhluk


seperti lahar di sisi bukit
sepukau apa gerhana bulan dan matahari
jika hidup sepahit kopi sehitam malam
perjalanan melingkarlingkar
dari ibu sampai ke makam
dari setitik mani sampai memercik api
udara lembab mengalir ke hilir
mengalir ke hulu
sedekat kematianmu



2008

Bunga


angin barat mengabarkan padaku
tentang bunga bunga
buah dan batang daun

jalanan masih sepi
tapi dapat kucium harum tubuhmu
mengembara ke angkasa maha

ini sekalian kucium aroma
membuka pintu menepis udara basah embun
menyibak jendela menyapa ingin

bunga darimanakah datangnya ?

bahtera Nuh melepaskan sepasang hewan
melayarkan teratai bertangkai tangkai
lalu teduh sekalian alam

musim ini – sekali kesempatan – datang berduyun duyun
ranum buah sorga melepas dahaga
batang daun menunjuk arah
kemana akan melangkah

tiada terhingga
penuh menyapa
raut wajahmu

kelopak bunga merekah
tumbuh dalam dekapmu
tumbuh dalam rumahku
tumbuh dalam ketandusan

aku ingin – maaf – menjadi pintu sorga
menyibak gorden jendela
membersihkan tempat tidur
melepas lelah bertahun

sekali bertemu
selamanya bukan selamat tinggal


2008

Laut


Telah dikabarkan
riwayat gelombang
melekat di tanah
menghitam

Jika dikenang
begitu dekatnya kita
bertempur dengan maut
antara hidup dan mati

Maka
biarkan laut menjemput
biarkan aku menidur
melepas lelah di sisi Allah

1990

Sabtu, 26 Januari 2008

Samsara


kalau hidup dikebiri
gairah apa yang melenggang ke pelupuk mata
segala samar, senyum kehilangan cahaya

berlapis-lapis geram bersandar di dermaga, kapal tak berlayar
sejak laut dirundung badai, dan kita terbang mengambang
setelah hening memeluk peluh, angin mengirim kabar
dari syair-syair yang tak laku di pasar

lumpuh tempat berteduh
rumah-rumah rubuh
lalu ikhlas luluh tengkurap di tepian makam

aku, syair, dan buku-buku
membisikkan takdir itu
dengan sekumpulan sajak abadi
menjelaskannya padaku; tentang jalan berliku
pada ranjang maha luas, pada nasib
berpayung di dedaunan pucuk pohon

bahwa kita sudah lama tak bertegur
menerjemahkan nafas, perlahan menggemakan percakapan
dan menghitung hening setiap persimpangan jalan

maka, datanglah berkunjung
kusiapkan tempat duduk berdua
menyusun arah layaknya buku syair-syairku
bertumpuk di atas batu

samsara, pada ruang memucat
ini masa menjadi kering tanpa jejak
tinggal sederet kata bisu di ruang tamu

aku begitu gagap tinggal di rumahmu
mungkin salah memilih takdir, lahirlah waktu
aku tak sabar menunggu


Medan, 2005

Mihrab

tubuh yang kau tidurkan di semesta bumi
sebelum subuh menggeliatkan kabut
menepi di ujung ruang
menanti kabar memagut cemas penghabisan

setelah maut menyelimut di tangan berkeriput
doa di pusaran lubuk menggelinding berputar-putar membawa tubuhmu gemetar

berhentilah langkah menyusuri pasir dan gurun
di seberang bukit berbatu lelah
menghitung hari-hari penantian
menjelmakan kalut

setiap kali akan ada saja yang datang dan pergi
mengintai dari balik jendela
menghirup bau tubuhmu
yang selalu jalang selalu pulang
membanam cinta pada perseteruan angka-angka

waktu subuh menggigil ngilu pada siku
aku bersekutu menjelajah ruang angin pada musim
dingin bersendiri
menyeka debu pada dinding dan seketika raib
mengenang percakapan kita
rindu berpantun-pantun membawa tiga pucuk daun
gugur di putik bunga

waktu cemas melepas sakit dalam lumpur berbatu
sesaat mengalirkan tetes embun
mengucap salam ke paru-paru.
menggigil dalam lipatan cahaya
bersaksi bersujud simpuh menyusun kata-kata
jika makna nasibmu hitam di lumut batu
abadikah ia?


Medan, 2005 – 2006

Di Tengah Pekuburan


lalu hening bayangmu dalam tubuhku
menjejak telapak, menemukanmu di tepian
setiap kali waktu mendendangkan pilu perempuan
entah itu ibuku atau ibumu menghentakkan kaki
dengan sengaja tidak mengajakmu kembali dan seterusnya pergi
bagai dua kekasih bercumbuan lalu sunyi kita dalam hening
melumat geram berabad-abad lama
mengigau di celah batu membelah musim
didesak waktu tiba pada malam hitam

dan bayangmu dan tubuhku
gemetar didera cambuk malaikat

angin mengempas ditingkahi tiupan seruling
barangkali juga, aku akan datang menjenguk
menghapus dosa membatu di dinding kalbu
ah, celaka membiarkan ia menangis
atau sendirian memilin kusut benang
wajah sesekali menghilang
dibuai resah digeram malam tanpa cahaya
menyembul tanpa warna
hitam mengigau di antara gemuruh angin
di tubuhku
luka darahmu
bibir yang selalu kelu
membaca kisah


2006

Sunyi Batu Pantai Air Manis


menelusuri cahaya demi cahaya
adalah kisahmu di pinggiran pantai
merambah rumput hitam memekat
membujur simpuh meneteskan keringat

berabad-abad berjatuhan dari bayangan masa lalu
adakah kau mengetuk takdir kuburmu
meremas tasbih mengeja huruf demi huruf
pada waktu berjatuhan dari hempasan angin
di balik celah seperti yang sudah-sudah

tetes hujan kian basah
merangkai tanya pada tiang patah; doa bundakah itu
yang memainkan randai malin kundang
merindukan anak di perantauan
yang tak pulang-pulang?

maka pulanglah
sebelum senja menutup usia
selagi mata mengurai bunga-bunga mekar
merambat hingga ranting ke pucuk daun
menguat pada akar

di tengah musim, saat badai melepas gelombang ke pantai
menghanyutkan perahu, membawa petaka
kukira inilah negeri maut menuliskan cerita
lalu bersimpuh menekuk lutut pasir berkerikil
merasai keganjilan terburai
di tengah nasib

bahwa kita telah lama hidup
dalam usia waktu berkelebat membuka rahasia perjalanan
menelusuri cahaya demi cahaya
mengenangkan percakapan
di tengah takdir paling sunyi
dan paling batu dari makna nasibmu


Medan, 2006

Lelaki dan Sebilah Pisau


“sesulit apakah menjadi pemain sandiwara“ katamu

bau tubuh yang garang dengan sebilah pisau di pinggang
mengukir makna tanah makam

“mainkanlah kisah para nabi” kataku menikam perut bumi

perahu nuh merayapkan sepasang belatung
kunang kunang menerbangkan cahaya

di tengah antara dinding dan lorong panjang
lelaki berambut ikal bertubuh kurus
dengan apakah kau tuliskan kisah malin kundang dan joko tingkir
sedang langit hitam langit menyempit udara pengap
setelah empat puluh tahun tubuh rapuh tak bertenaga

lelaki aneh dengan sebilah pisau di pinggang
tak peduli tempat berteduh
sekedar hinggap atau melepas lelah.
angan-angan melantunkan nyanyi pilu yang panjang
tidak jelas suaranya
selain desir angin di daun
memberi kabar tentang tangis anak istri
suara kesiasiaankah yang datang dan pergi?

“sesulit apakah menjadi pemain sandiwara
mestikah kumainkan kisah para nabi” katamu

“apa yang tak ada padaku – ada padamu.
yang tidak ada padamu – ada padaku
kita saling mengisi memenuhi kebutuhan
mempertahankan hidup tenggelam dalam lamunan
menyesalkah?
ah barangkali tidak” kataku

ladang di tanah petak persegi panjang
di tengahnya gundukan pasir membentuk bukit
menanam ubi habis dijarah puluhan pemain sandiwara lain
hidup yang tak lebih sama
menjadi melata dengan taring yang panjang

tenang seperti tanpa dosa tanpa beban
memamah rakus ubi-ubi yang kutanam
hidup menggantung di pundak orang lain
begitu tidak peduli, merambah hutan
sampai perut menggelembung seperti perempuan bunting
masuk angin ataukah kenyang sebenarnya kenyang
dan tidak pernah saling memahami.

lelaki itu
bahkan kini menahan kutukan menjadi sebilah pisau
sementara aku tak henti mengagumi ketololan
menjadi aktor paling bejat
tak peduli dengan sebilah pisau membunuh hidup keluarga
hidup anak istri yang saban hari menanti beras dan ikan
bertahan hidup selamanya atau memilih mati
demi memenuhi ambisi suami.

2007

Mengenangmu


kata ibu “pergilah merantau karena tanah seriau telah kehilangan payung
tak ada batas ujung sepanjang pandang - selain labuh tanker
jiwa kering telentang mengejang”

menyisir bakau pulau kecil, tambang timah dan ladang minyak
dikikis matahari melengkung, rapuh dibelah beratus lorong
amuk dan kapak puluhan tahun membelah tanpa lelah
badai tercipta dari daun berguguran
air mengalir ke semenanjung
di semenanjung manapun kita melabuh menjelma segala riuh
jika riuh serisau tanah riau apatah hendak hentikan tangis
lalu bandar menjadi makam menembus dinding rahim
makam yang memanjang dari hulu ke hilir
ke muara mana ia berhenti kesetiap risau sepilu perempuan
menanti suami membawa seikat kembang pewangi
angin bertiup menggali kubur yang panjang

setengah telanjang dada lelaki berkeringat menggulung gelombang
dalam sekejab membentuk laut garang
merangkai kemudi patah ditelan ombak petang
mengigaukan amarah karena kegersangan tanah pusaka
pohon dan air kecoklatan meraungkan tangis di ujung bukit
bau amis dan udara yang tipis
kampung yang tak pernah rampung menulis kisah paling resah
tanah yang kejang sepanjang debar dirundung gelisah

“mestikah memenung di tepian sungai
menyerah sebelum ajal memanggil pulang
lalu rubuh tengkurap di pusaran arus
nikmati muara mengalirkan limbah berwarna air kecoklatan
menghapus rindu pada laut” kataku

mestinya ibu berhenti mengeja huruf dari kegamangan petuah para datuk
karena di sungai menggelepar anak ikan tertikam begitu dalam
kampung yang lengang kehilangan sejarah bersama adab yang terkikis
mengenang sebatang pohon diukir wajah sembilan wali
raja tanpa tahta dan mahkota tanpa janggut dan keris sakti
di pedalaman lelaki tua memungut kerinduan
dihanyutkan arus sungai ke muara terlunta-lunta
semacam jejak kehitaman menyapu kabut di bukit
makin berbaris makin habis

“di bukit mana tersiar kabar dengan raung halilintar
angin menggulung akar pohon
sekalipun tanah kelahiran dilindung mantra segala doa
hidup akan semakin singkat saja”

sesingkat riau kehilangan kecipak air - minyak bumi dan rimbun pohon
untuk hidup dengan semestinya di jalan setapak penuh embun menenun lamun
saban hari ketika pulang dan pergi menggantungkan lampu waktu subuh
pada pohon berbaris memanjang ke belakang
sepanjang gugusan lembah – tanah merekah
tubuh melayang terbang menjelang sembahyang
diamuk cuaca saat azan tiba

sesingkat itu
kukenang tubuhmu sepanjang badai dan hujan

Batam, 2007

Pertikaian Tanah Deli


sepanjang mata
kering dan cemas
mengayuh perahu ke samudera
tak jelas arah dan batas

memburu ladang pertikaian
medan yang tak pernah bangun
disesaki perantau sepanjang tahun

barisan pelayat tanpa suara
berpantun pantun syair melayu
saling mendekap berharap

tak ada yang dapat mencatat
kota bagai tubuh ditenung segala dewa

kubur menganga ditunggui pedang pancung
raja dan datuk tak berdaya
hidup di kepung amarah
dikebiri sampai wajah pucat pasi

bangsawan melata melilit batang jati
rawa dangkal menghibur tulang belulang
tertanam setengah tubuh
dicekik laskar revolusi

di tanah deli pertikaian tak henti
guru patimpus meratapi sungai deli dan babura
medan putri di tanah wakaf, menjadi asing menjadi melata
menjadi selembar sajak

sejak kamboja di batu cadas
menyimpan segara riuh
segemuruh napas pertarungan
memandang istana tanpa tahta dan singgasana

geram meradang dalam pikiran
menunggu angin laut cina selatan
lalu tubuh dibayangi legenda purba
jatuh dari angkasa

seperti burung jatuh
arwah terbang dan melayang
mata mengambang
pandangan terlunta jauh mengembara
sampai tak menemukan kata

wajah kerut didetak waktu
membuka jendela membiru
dijemput takdir jejak tubuh
menghiba
meremas dada
mengharap nasib baik



gemuruh tubuh membentuk cakram
cahaya menampar sudut kota
menunggu waktu berubah

waktu pintu terbuka
segala yang tampak melayang di udara
saling tidak mengenali tanah kelahiran
semakin jauh tertikam semakin dalam terbenam

Medan, 2007

Perburuan Rumahitam


di batam
puluhan pasang bayangan karam
tenggelam ke dasar laut
sampai dilumpur paling dalam
tak menemukan apa-apa

seanyir nafas perempuan
tubuh mengawang dibawa angin
selalu jalang selalu tak ingin pulang
dihanyut gelombang memabukkan

selain ranting mengering
daun gugur ke rahim tanah
mendongeng kisah mata air
mengikis wajah kemerahan

perjalanan yang panjang
mengukir jalan berliku bersimpang
dihempang ranting dan batang pohon
akar menunjang kedalaman

sepanjang bentangan jalan
perempuan merenda pertumbuhan
deru angin membawa hujan
lalu geram mengusik rumahitam
sehabis gumam
pertarungan memangsa desah percintaan
lonceng berdentang dua belas kali
perburuan pun dimulai
setajam pedang hang nadim
waktu mencengkram
dosa dibenci anak-anak sorga


Batam, 2007

Lintasan Waktu, Sedingin Hawa Jogja


1

udara basah
sepanjang lamun dihias kerut wajah
ditunggu waktu cahaya bulan
dicambuk senar kecapi menuntunmu

kota disapa gunung api
seperti keledai di jalanan tugu dan lempuyangan
perempuan gentayangan
berkelana dengan perantau

masih sedingin dulu
tubuh ranummu

2

air mata menjadi saluran bagi hujan
rindu pada daun pohon
batang meranggas mencari pelindung udara basah.
halilintar membelah kabut tipis
di atas bukit

aku meminangmu dengan angin
di tempat sepi bersama dingin
merayapi nafas sampai ke seberang
pulau tanpa bakau, batu cadas dan karang laut.
menatap langit kabut dan merasakan hujan

air mengguyur tubuhmu
mengalir ke samudera

3

sambil membaca bahasa tubuh
kemanakah akan kau lepas ayam betina berbulu tipis
menulis puisi sampai ke pasar, mall dan supermarket
pekik yang tercekik, melepaskan syair kesia-siaan
tidak dimengerti dan penuh misteri

aku akan selimuti tubuh dengan harum bunga
meniduri kota dilipatan hawa malioboro
menunggu daun gugur

kukecup keningmu
kau diam membisu


4

semalaman ini tubuhmu menggumam desah
melambaikan kisah masa lalu
syair pertama dibayangi nyeri kesedihanku
berpusar dari rindu kembali ke waktu mula kita bertemu

tapi kesedihanku telah membatu
seperti bukit dilalap ketandusan
hanya ada sebatang pohon tanpa daun
ranting meranggas ke batas paling ujung
menjadi purba menjadi legenda

5

yuli pipin dhian hapsari
di sudut kota ini aku tak ingin kembali
kisah lama yang pahit ditikam keris mata dewa
aku membenci suara seperti menyumpahi ketololan

entahlah dimana ketenangan dan batas kejujuran
dengus nafas seperti ketandusan padang pasir dihembus desir angin
begitu panas
begitu cemas

6

tak ingin kuketuk rumahmu karena keluguanku
meski sapa dan bisu bersatu dalam gumam rindu
seperti elang melayang di tengah laut
jaring para nelayan menuju batas yang tak jelas

di antara keberanian dan ketulusan
menantang badai melawan maut
gelombang tak takut pecah di pantai
ketololan dan keluguan menjadi cermin

7

sekali waktu kita bertemu
kau sapa diriku terburu-buru

“kapan kau pulang, jam berapa dan naik apa
kereta kencana tidak untuk dibawa bersuka ria
itu milik raja dijaga para kesatria”

kupandangi wajahmu
jauh ke dalam hati

“apa yang kau pikiri?”

medan yang lantang membawamu ke seberang
tak ada ombak dan gelombang memecah karang
tak ada sapa sekedar bercanda
hanya mata kelilipan disapu pikiran

inilah terakhir kali kita bertemu
godaan bau tubuhmu membuat iri lelaki
juga perempuan lain yang datang dan pergi

8

wajahmu membuat kisah baru
sekeras karang tak pecah karena gelombang
tapi ingin kunikmati dengan tenang
seperti malin kundang di pantai padang
sujud di pasir buritan kapal

kukecup keningmu
kau diam membisu

Yogyakarta, 2007