kata ibu “pergilah merantau karena tanah seriau telah kehilangan payung
tak ada batas ujung sepanjang pandang - selain labuh tanker
jiwa kering telentang mengejang”
menyisir bakau pulau kecil, tambang timah dan ladang minyak
dikikis matahari melengkung, rapuh dibelah beratus lorong
amuk dan kapak puluhan tahun membelah tanpa lelah
badai tercipta dari daun berguguran
air mengalir ke semenanjung
di semenanjung manapun kita melabuh menjelma segala riuh
jika riuh serisau tanah riau apatah hendak hentikan tangis
lalu bandar menjadi makam menembus dinding rahim
makam yang memanjang dari hulu ke hilir
ke muara mana ia berhenti kesetiap risau sepilu perempuan
menanti suami membawa seikat kembang pewangi
angin bertiup menggali kubur yang panjang
setengah telanjang dada lelaki berkeringat menggulung gelombang
dalam sekejab membentuk laut garang
merangkai kemudi patah ditelan ombak petang
mengigaukan amarah karena kegersangan tanah pusaka
pohon dan air kecoklatan meraungkan tangis di ujung bukit
bau amis dan udara yang tipis
kampung yang tak pernah rampung menulis kisah paling resah
tanah yang kejang sepanjang debar dirundung gelisah
“mestikah memenung di tepian sungai
menyerah sebelum ajal memanggil pulang
lalu rubuh tengkurap di pusaran arus
nikmati muara mengalirkan limbah berwarna air kecoklatan
menghapus rindu pada laut” kataku
mestinya ibu berhenti mengeja huruf dari kegamangan petuah para datuk
karena di sungai menggelepar anak ikan tertikam begitu dalam
kampung yang lengang kehilangan sejarah bersama adab yang terkikis
mengenang sebatang pohon diukir wajah sembilan wali
raja tanpa tahta dan mahkota tanpa janggut dan keris sakti
di pedalaman lelaki tua memungut kerinduan
dihanyutkan arus sungai ke muara terlunta-lunta
semacam jejak kehitaman menyapu kabut di bukit
makin berbaris makin habis
“di bukit mana tersiar kabar dengan raung halilintar
angin menggulung akar pohon
sekalipun tanah kelahiran dilindung mantra segala doa
hidup akan semakin singkat saja”
sesingkat riau kehilangan kecipak air - minyak bumi dan rimbun pohon
untuk hidup dengan semestinya di jalan setapak penuh embun menenun lamun
saban hari ketika pulang dan pergi menggantungkan lampu waktu subuh
pada pohon berbaris memanjang ke belakang
sepanjang gugusan lembah – tanah merekah
tubuh melayang terbang menjelang sembahyang
diamuk cuaca saat azan tiba
sesingkat itu
kukenang tubuhmu sepanjang badai dan hujan
Batam, 2007
tak ada batas ujung sepanjang pandang - selain labuh tanker
jiwa kering telentang mengejang”
menyisir bakau pulau kecil, tambang timah dan ladang minyak
dikikis matahari melengkung, rapuh dibelah beratus lorong
amuk dan kapak puluhan tahun membelah tanpa lelah
badai tercipta dari daun berguguran
air mengalir ke semenanjung
di semenanjung manapun kita melabuh menjelma segala riuh
jika riuh serisau tanah riau apatah hendak hentikan tangis
lalu bandar menjadi makam menembus dinding rahim
makam yang memanjang dari hulu ke hilir
ke muara mana ia berhenti kesetiap risau sepilu perempuan
menanti suami membawa seikat kembang pewangi
angin bertiup menggali kubur yang panjang
setengah telanjang dada lelaki berkeringat menggulung gelombang
dalam sekejab membentuk laut garang
merangkai kemudi patah ditelan ombak petang
mengigaukan amarah karena kegersangan tanah pusaka
pohon dan air kecoklatan meraungkan tangis di ujung bukit
bau amis dan udara yang tipis
kampung yang tak pernah rampung menulis kisah paling resah
tanah yang kejang sepanjang debar dirundung gelisah
“mestikah memenung di tepian sungai
menyerah sebelum ajal memanggil pulang
lalu rubuh tengkurap di pusaran arus
nikmati muara mengalirkan limbah berwarna air kecoklatan
menghapus rindu pada laut” kataku
mestinya ibu berhenti mengeja huruf dari kegamangan petuah para datuk
karena di sungai menggelepar anak ikan tertikam begitu dalam
kampung yang lengang kehilangan sejarah bersama adab yang terkikis
mengenang sebatang pohon diukir wajah sembilan wali
raja tanpa tahta dan mahkota tanpa janggut dan keris sakti
di pedalaman lelaki tua memungut kerinduan
dihanyutkan arus sungai ke muara terlunta-lunta
semacam jejak kehitaman menyapu kabut di bukit
makin berbaris makin habis
“di bukit mana tersiar kabar dengan raung halilintar
angin menggulung akar pohon
sekalipun tanah kelahiran dilindung mantra segala doa
hidup akan semakin singkat saja”
sesingkat riau kehilangan kecipak air - minyak bumi dan rimbun pohon
untuk hidup dengan semestinya di jalan setapak penuh embun menenun lamun
saban hari ketika pulang dan pergi menggantungkan lampu waktu subuh
pada pohon berbaris memanjang ke belakang
sepanjang gugusan lembah – tanah merekah
tubuh melayang terbang menjelang sembahyang
diamuk cuaca saat azan tiba
sesingkat itu
kukenang tubuhmu sepanjang badai dan hujan
Batam, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar