“sesulit apakah menjadi pemain sandiwara“ katamu
bau tubuh yang garang dengan sebilah pisau di pinggang
mengukir makna tanah makam
“mainkanlah kisah para nabi” kataku menikam perut bumi
perahu nuh merayapkan sepasang belatung
kunang kunang menerbangkan cahaya
di tengah antara dinding dan lorong panjang
lelaki berambut ikal bertubuh kurus
dengan apakah kau tuliskan kisah malin kundang dan joko tingkir
sedang langit hitam langit menyempit udara pengap
setelah empat puluh tahun tubuh rapuh tak bertenaga
lelaki aneh dengan sebilah pisau di pinggang
tak peduli tempat berteduh
sekedar hinggap atau melepas lelah.
angan-angan melantunkan nyanyi pilu yang panjang
tidak jelas suaranya
selain desir angin di daun
memberi kabar tentang tangis anak istri
suara kesiasiaankah yang datang dan pergi?
“sesulit apakah menjadi pemain sandiwara
mestikah kumainkan kisah para nabi” katamu
“apa yang tak ada padaku – ada padamu.
yang tidak ada padamu – ada padaku
kita saling mengisi memenuhi kebutuhan
mempertahankan hidup tenggelam dalam lamunan
menyesalkah?
ah barangkali tidak” kataku
ladang di tanah petak persegi panjang
di tengahnya gundukan pasir membentuk bukit
menanam ubi habis dijarah puluhan pemain sandiwara lain
hidup yang tak lebih sama
menjadi melata dengan taring yang panjang
tenang seperti tanpa dosa tanpa beban
memamah rakus ubi-ubi yang kutanam
hidup menggantung di pundak orang lain
begitu tidak peduli, merambah hutan
sampai perut menggelembung seperti perempuan bunting
masuk angin ataukah kenyang sebenarnya kenyang
dan tidak pernah saling memahami.
lelaki itu
bahkan kini menahan kutukan menjadi sebilah pisau
sementara aku tak henti mengagumi ketololan
menjadi aktor paling bejat
tak peduli dengan sebilah pisau membunuh hidup keluarga
hidup anak istri yang saban hari menanti beras dan ikan
bertahan hidup selamanya atau memilih mati
demi memenuhi ambisi suami.
2007
bau tubuh yang garang dengan sebilah pisau di pinggang
mengukir makna tanah makam
“mainkanlah kisah para nabi” kataku menikam perut bumi
perahu nuh merayapkan sepasang belatung
kunang kunang menerbangkan cahaya
di tengah antara dinding dan lorong panjang
lelaki berambut ikal bertubuh kurus
dengan apakah kau tuliskan kisah malin kundang dan joko tingkir
sedang langit hitam langit menyempit udara pengap
setelah empat puluh tahun tubuh rapuh tak bertenaga
lelaki aneh dengan sebilah pisau di pinggang
tak peduli tempat berteduh
sekedar hinggap atau melepas lelah.
angan-angan melantunkan nyanyi pilu yang panjang
tidak jelas suaranya
selain desir angin di daun
memberi kabar tentang tangis anak istri
suara kesiasiaankah yang datang dan pergi?
“sesulit apakah menjadi pemain sandiwara
mestikah kumainkan kisah para nabi” katamu
“apa yang tak ada padaku – ada padamu.
yang tidak ada padamu – ada padaku
kita saling mengisi memenuhi kebutuhan
mempertahankan hidup tenggelam dalam lamunan
menyesalkah?
ah barangkali tidak” kataku
ladang di tanah petak persegi panjang
di tengahnya gundukan pasir membentuk bukit
menanam ubi habis dijarah puluhan pemain sandiwara lain
hidup yang tak lebih sama
menjadi melata dengan taring yang panjang
tenang seperti tanpa dosa tanpa beban
memamah rakus ubi-ubi yang kutanam
hidup menggantung di pundak orang lain
begitu tidak peduli, merambah hutan
sampai perut menggelembung seperti perempuan bunting
masuk angin ataukah kenyang sebenarnya kenyang
dan tidak pernah saling memahami.
lelaki itu
bahkan kini menahan kutukan menjadi sebilah pisau
sementara aku tak henti mengagumi ketololan
menjadi aktor paling bejat
tak peduli dengan sebilah pisau membunuh hidup keluarga
hidup anak istri yang saban hari menanti beras dan ikan
bertahan hidup selamanya atau memilih mati
demi memenuhi ambisi suami.
2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar