Selasa, 02 Desember 2008
Minggu, 21 September 2008
Penantian
biarlah hanya sebuah puisi, karena kusadari aku tidak hendak menggantungkan harapan yang tak pasti padamu atau mengusik ketenanganmu
bagaimanapun ia lelaki itu
yang kusebut paijo yang buntal akan membawamu bukan?
dalam kebahagiaan menuju langit rumah cinta baru
biarlah puisi mengabarkan salam demi kebahagiaanmu menuju rumah yang lama kau idamkan.
salam pada cinta
: penyair langit
2008
Rabu, 06 Agustus 2008
Lelaki Buntal Si Pencemburu
di tangan pentungan dan sangkar burung pelatuk
pecemburu merangkul cinta kelabu
lalu datanglah ia membawa angin malam gelap gulita
mengikat sayap burung dalam bahasa yang tak dimengerti
memilin kusut benang panjang dan rapuh
bagi penyair langit yang hatinya penuh luka
bara menganga
selalu dalam waktu tentu
kupanggil namamu penyair langit
dalam impian panjang dibuai asmara
bunga bunga dengan kuntum penuh warna rupa cahaya
mencium harum tubuhmu dalam pesona
mengabarkan cinta mengobati luka
awan mengangkasa wilayah tak terhingga
menjadi layang mengitari pucuk bukit
dalam bahasa kata rindu yang tak biasa
2008
Senin, 04 Agustus 2008
Candi Muaro Jambi
: Diah di atas batu berjilbab merah jambu
angin menggerai rambutmu yang basah
senyum menjadi tasbih
ditutup jilbab merah jambu
memelukmu merangkulmu dengan bibir gemetar
dijaga sepuluh kesatria menuju langit dunia maya
kenangan yang tak habis membaca riwayat purba
duduk berdua bersenggama dengan kata kata
meminangmu di tengah kedalaman air kecoklatan
memilin cinta disanding peri tujuh pelangi
tak takluk pada alam
sepanjang bayangmu sedalam anganku
bercengkrama dengan harum bidadari
2008
Sabtu, 31 Mei 2008
Dewi
apakah ini kisah akhir dari sebuah takdir
sampai aku tak bisa menulis puisi
menemui meneleponmu
karena lelaki buntal itu mengikat memenjaramu
dengan maklumat putus atau menjauhiku
seperti naga di tanah pilih
ia membelit tubuh di pucuk bukit
aku terkesima kehilangan darah dalam jiwa
kehilangan cinta
:dalam gerimis hujan
membayang wajahmu
dalam keremangan waktu cahaya membias
angin mengabarkan rinai hujan gerimis
lalu lirih suara menggema
dalam lautan teduh air bening
membasuh rambutmu
pandangan jauh ke angkasa maha
meraba detak jantung
dering suara melengking
mengetuk pintu tigakali
menyentak lamunan mengabarkan kisah
labuhkan cinta ke dermaga akhir
begitu lama sampai tak terkira
menghitung bunga bunga mekar
bahasa tubuh sepanjang bayang jatuh
dipungut gelisah cahaya sorga
lalu resah kabut bukit
membisikkan takdir
dalam kehidupan akhir
Dewi /2/
senantiasa memendam rasa
mazlina bias cahaya purnama
sendiri membawa keinginan
meniti hari penantian
menunggu teduh
mata yang luluh
riak kisah air
kisah air dalam hujan pagi
di muara pantai kita bisikkan takdir
untuk kehidupan akhir
kaupun membasahi wajah
menyapu tangan hingga kaki
setiap kali pertemuan
Dewi /3/
seperti angin kita melayang
mengikuti gelombang laut
susuri pantai pasir
aku mengingatmu selalu
dalam puisi
nyanyikanlah syair buluh perindu
mengabarkan keinginanmu
dalam hidup hingga batas akhir
di dermaga takdir
Dewi /4/
lalu datanglah kepadaku harum bunga
bunga cahaya tumbuh di dasar jiwa
tempat kupu kupu terbang mengelana
menyusuri sungai kecil membawa syair
syair rindu gemericik air
membawa senyum bagi penyair
dalam hidup hingga akhir
Selasa, 27 Mei 2008
Kepadamu Perempuanku
dari pucuk daun
angin menggerai rambutmu
melewati retak tanah
membasuh tetes keringat
kisah lama yang pahit
gemericik air
lagukan syair pilu perempuan
memecah batu tebing curam
lewat tepi rumpun keasingan
lena begitu lama dilamun petaka
dalam serpihan tanah merekah
gerimis jatuh membasah
seperti bayang sepanjang pandang
resah pada gelisah tubuh
cahaya sorga membawa aroma
Gemericik Air /2/
muara jauh entah dimana memendam rasa
lalu sendiri dibawa angin utara
melautkan teduh
mata yang jauh
jatuh dalam kabut hitam
kisah air dalam mimpi kenangan
hutan bakau pantai landai disapu badai
lalu kita membisikkan takdir
dalam kehidupan akhir
kaupun membasahi tiap langkah
menghitung persimpangan
dalam lima pertemuan
Gemericik Air /3/
seperti angin melayangkan keinginan
mengambara mengikuti gelombang
pecah di pasir
pulau tanpa daun ranting patah
dalam gelisah pasrah pada nasib
aku akan selalu mengingatmu
setiap kali hujan
lalu antara batu dan tanah merekah
kau membisikkan kata pilu
bernyanyilah mengusung pantai pasir
mengabarkan keinginanmu
dalam hidup yang tak pernah kau tahu
batas akhir setiap takdir
Senin, 26 Mei 2008
Krismarlyanti
Selasa, 26 Februari 2008
Dek Kris, begitu sunyi, begitu sepi
sehitam malam sesepi kelam rumahku kini
rumah piatu disingkap kegelapan diam diam
tapi sepancar cahaya dari sudut manakah ia
datang menjenguk sekedar saja
menitip salam dunia maya
rahwana terbang di angkasa mengapit gaun dewi shinta
aku datang kepadamu dengan impian purba
aku menjenguk dirimu dengan nafas penghabisan
lalu datanglah wajah wajah menitiskan gerimis
tubuhku basah tubuhku lelah
lalu datanglah kepadaku kenangan bunga bunga
hidupku resah pandanganku gundah
sehabis malam dalam kegelapan musim
aku ingin menghabiskan senyum ranummu
sendiri dalam kabut tipis
Sabtu, 23 Februari 2008
Dhian Hapsari, Bunga Takkan Layu
Kamis, 21 Februari 2008
Rumah Puisi Afrion Tepi Danau Toba
Danau Toba
datang padamu mengetuk pintu
salam syair syairku
disambut angin menggetar dinding
disapu kenangan sepasang kunang kunang
dinding sembarang kayu ditulis sebait puisi
puisi rumah daun pintu yang patah
debu sarang laba laba
disikut sebaris kata memanjang
dalam desah yang parau
dalam gelisah percintaan peradaban
dalian na tolu dilamun tanah hitam
didera cambuk api kesaktian dewa
tiga puisi rumah dibawa angin
sepasang kupukupu
dalam badai daun berguguran
air mengalirkan segala riuh
menggali kubur tanah makam
kegersangan tanah pusaka
meraungkan tangis di ujung bukit
hutan pohon pinus sepanjang pandang
danau toba
akan kemanakah perginya
tak akan jadi sepasang kupukupu
mengenang pohon hilang di atas bukit
sepanjang jalan debu dihembus angin danau
rumah rumah rubuh
tubuh melepuh
luluh tengkurap di tepian makam
menyeka debu pada dinding
membawa tiga pucuk daun
menulis syair dan buku buku
aku syair dan buku buku
membisikkan takdir itu
dengan sekumpulan sajak abadi
2008
Selasa, 19 Februari 2008
Taman Kuliner Yogyakarta (Yuli Pipin Dian Hapsari)
Senja di taman setelah hari penghabisan
musim ini – melepas penat seharian – datang bersamamu
tiga pucuk bunga melepas aroma
dipetik ranting selembar daun
syair rindu tanah Melayu
penuh menyapa
senyum wajahmu
Sekalian kuceritakan syair Amir Hamzah
mencari rumah piatu Lilik Sundari
membuka pintu menepis udara basah embun
di Surakarta tiada siapa memberi kabar
berkeliling berputar putar membuat tubuh gemetar
menyinggahi kraton tanah keramat
makan dijaga roh purba para datuk
Ia telah mangkat
meninggalkan pergolakan
dalam keterlanjuran
dihempas peradaban
tapi dapat kuhirup jiwa pengabdian
dengan ketulusan cinta
waktu lalu menggigilkan tubuhku
menjelajah stasiun kereta solobalapan
dingin bersendiri dipiggiran pintu
menyeka debu pada wajah
merenungkan percakapan
rindu berpantun-pantun membawa tiga pucuk daun
dipetik ranting selembar daun
seketika menyinggahi jalan di lempuyangan
akan ada yang datang dan pergi
bersamamu dengan mata sayu
kelelahan seharian di taman
menjaga tanah harum sorga
“Aku akan pulang ke tanah Melayu” bisikku
kau diam menyapa
“ah, begitu cepatnya”
baru saja hujan gerimis menepis kerinduan
kisah yang tak habis semalam
melepas cemas dalam perseteruan angka angka
Rabu, 06 Februari 2008
Jumat, 01 Februari 2008
Hai...Kaukah Itu di Balik Tirai Jendela
jika risaumu serisau tahun berganti, dek
akan kukirim syair pelepas dahaga
jika ingatan melabuhkan tubuh yang luka sepanjang hari lalu
perjalanan menghempas rasa luka dukamu diam seketika
ditinggal hidup sendiri tapi kali pertama dirimu datang menjengukku
akan kukirim harum hawa sorga
(hidup yang patah hanya sementara
maka jangan biarkan dirimu dirundung duka)
raibkan kisah angin itu, dek
bayang luka senantiasa mengganggu jiwa
mengembaralah keangkasa maha, malaikat membawa cahaya
bagi diri yang senantiasa percaya
(ulangtahunmukah kini datang membawa kabar ke tanah melayuku, dek?)
jika risau tahunmu jika igau tak kunjung padam
maka layarkan bahtera nuh menyusuri kalut jiwa
jika risau tubuh dihantam bayang mengebiri sepanjang hari lalu
maka layarkan keyakinan firman dan hadist
Medan, 2007
Khuldiku
Kamis, 31 Januari 2008
Tentang Aceh
(bergulungan ombak memecah daratan)
Inilah ziarahku setelah gelombang tenang
membentang senandung ayat-ayat suci takbir Ilahi
sebagaimana dulu aku mengenalmu
dalam puisi nyanyian melelapkan tidur
meneteskan embun memandikan pagi
Meski laut telah mengantarkan maut
sebelum sempat kubangun angan dan harapan
Aku tahu begitu beratnya kematian
sakratul maut menyentak kalbu di ujung batas usia
Tuhanku,
ceritakanlah tentang Aceh
tentang gelombang laut menghantam wajah-wajah kemiskinan
tentang amuk perang meninggalkannya dalam kesulitan
gelombang itu pun meninggalkan Aceh dengan ketidakberdayaan
Akankah Aceh bangkit dari tidur lelap?
sedang di mataku
ia bagai malam menembus gelap
pertempuran melumpuhkan segala
di langit cuaca berkabut
angin melantunkan tangis perempuan-perempuan berjilbab
menidurkan anak sambil melantun syair sabil
merentang arah – memendam amarah
Medan, 2005
Puncak
melabuh jiwa
tepi cahaya
semesta
dalam menanti kelam
ia mengerling janji itu
membuka mata lebar-lebar
hai!
kaukah itu?
di puncak
tengah salju
airmata haru
menatap wajahmu
udara hampa
maha kuasa
segala penjuru
ia teriak
hai!
kaukah itu?
mari bersiap
di puncak orang orang rebah
menunggu
menanti pintu
manakah pintu?
1987 – 2008
Rabu, 30 Januari 2008
Bumi
jika menjadi ibu
dikepalanya penuh kunang-kunang
jika menjadi abu
habislah sudah cahaya kehidupan
jangan pernah tak bertenaga membuka suara
membentang pergolakan – mengabarkan perilaku
tentang tangis dan penindasan
berpuluh gundah
hak yang ditelantarkan
kehidupan yang dinistakan
terbuang jadi debu di tengah musim; masa yang suram
bukan mengiris kenangan
amuk perang, senjata, dan pembodohan
bukan lorong labirin
menenggelamkan sejarah peradaban
bukan bumi dikelilingi dataran yang rumit
penuh sukacita atau tabung kaca
tempat kau merayakan pesta
melepas lelah, tidur dan jumpalitan
pada selembar surat yang kutulis
pandanganku teriris-iris
bahwa aku menghempang kematian menjadi abu
atau menjadi patung batu
monumen
sejarah
berziarahlah membuka sejarah
kota dan kehidupan
kugantikan pisau batu dengan baja bermata seribu
setajam bibir ombak menguras pasir di pantai
sesekali ke tengah
berenangan dengan angan-angan
menjadi beribu pisau
pisau-pisau peradaban kebudayaan
Medan, 2005
Selasa, 29 Januari 2008
M. Raudah Jambak
Rendra, Gunawan Muhammad, Taufik Ismail, Kepadamu Sekalian Makhluk
Bunga
tentang bunga bunga
buah dan batang daun
jalanan masih sepi
tapi dapat kucium harum tubuhmu
mengembara ke angkasa maha
ini sekalian kucium aroma
membuka pintu menepis udara basah embun
menyibak jendela menyapa ingin
bunga darimanakah datangnya ?
bahtera Nuh melepaskan sepasang hewan
melayarkan teratai bertangkai tangkai
lalu teduh sekalian alam
musim ini – sekali kesempatan – datang berduyun duyun
ranum buah sorga melepas dahaga
batang daun menunjuk arah
kemana akan melangkah
tiada terhingga
penuh menyapa
raut wajahmu
kelopak bunga merekah
tumbuh dalam dekapmu
tumbuh dalam rumahku
tumbuh dalam ketandusan
aku ingin – maaf – menjadi pintu sorga
menyibak gorden jendela
membersihkan tempat tidur
melepas lelah bertahun
sekali bertemu
selamanya bukan selamat tinggal
2008
Laut
Sabtu, 26 Januari 2008
Samsara
gairah apa yang melenggang ke pelupuk mata
segala samar, senyum kehilangan cahaya
berlapis-lapis geram bersandar di dermaga, kapal tak berlayar
sejak laut dirundung badai, dan kita terbang mengambang
setelah hening memeluk peluh, angin mengirim kabar
dari syair-syair yang tak laku di pasar
lumpuh tempat berteduh
rumah-rumah rubuh
lalu ikhlas luluh tengkurap di tepian makam
aku, syair, dan buku-buku
membisikkan takdir itu
dengan sekumpulan sajak abadi
menjelaskannya padaku; tentang jalan berliku
pada ranjang maha luas, pada nasib
berpayung di dedaunan pucuk pohon
bahwa kita sudah lama tak bertegur
menerjemahkan nafas, perlahan menggemakan percakapan
dan menghitung hening setiap persimpangan jalan
maka, datanglah berkunjung
kusiapkan tempat duduk berdua
menyusun arah layaknya buku syair-syairku
bertumpuk di atas batu
samsara, pada ruang memucat
ini masa menjadi kering tanpa jejak
tinggal sederet kata bisu di ruang tamu
aku begitu gagap tinggal di rumahmu
mungkin salah memilih takdir, lahirlah waktu
aku tak sabar menunggu
Medan, 2005
Mihrab
sebelum subuh menggeliatkan kabut
menepi di ujung ruang
menanti kabar memagut cemas penghabisan
setelah maut menyelimut di tangan berkeriput
doa di pusaran lubuk menggelinding berputar-putar membawa tubuhmu gemetar
berhentilah langkah menyusuri pasir dan gurun
di seberang bukit berbatu lelah
menghitung hari-hari penantian
menjelmakan kalut
setiap kali akan ada saja yang datang dan pergi
mengintai dari balik jendela
menghirup bau tubuhmu
yang selalu jalang selalu pulang
membanam cinta pada perseteruan angka-angka
waktu subuh menggigil ngilu pada siku
aku bersekutu menjelajah ruang angin pada musim
dingin bersendiri
menyeka debu pada dinding dan seketika raib
mengenang percakapan kita
rindu berpantun-pantun membawa tiga pucuk daun
gugur di putik bunga
waktu cemas melepas sakit dalam lumpur berbatu
sesaat mengalirkan tetes embun
mengucap salam ke paru-paru.
menggigil dalam lipatan cahaya
bersaksi bersujud simpuh menyusun kata-kata
jika makna nasibmu hitam di lumut batu
abadikah ia?
Medan, 2005 – 2006
Di Tengah Pekuburan
menjejak telapak, menemukanmu di tepian
setiap kali waktu mendendangkan pilu perempuan
entah itu ibuku atau ibumu menghentakkan kaki
dengan sengaja tidak mengajakmu kembali dan seterusnya pergi
bagai dua kekasih bercumbuan lalu sunyi kita dalam hening
melumat geram berabad-abad lama
mengigau di celah batu membelah musim
didesak waktu tiba pada malam hitam
dan bayangmu dan tubuhku
gemetar didera cambuk malaikat
angin mengempas ditingkahi tiupan seruling
barangkali juga, aku akan datang menjenguk
menghapus dosa membatu di dinding kalbu
ah, celaka membiarkan ia menangis
atau sendirian memilin kusut benang
wajah sesekali menghilang
dibuai resah digeram malam tanpa cahaya
menyembul tanpa warna
hitam mengigau di antara gemuruh angin
di tubuhku
luka darahmu
bibir yang selalu kelu
membaca kisah
2006
Sunyi Batu Pantai Air Manis
adalah kisahmu di pinggiran pantai
merambah rumput hitam memekat
membujur simpuh meneteskan keringat
berabad-abad berjatuhan dari bayangan masa lalu
adakah kau mengetuk takdir kuburmu
meremas tasbih mengeja huruf demi huruf
pada waktu berjatuhan dari hempasan angin
di balik celah seperti yang sudah-sudah
tetes hujan kian basah
merangkai tanya pada tiang patah; doa bundakah itu
yang memainkan randai malin kundang
merindukan anak di perantauan
yang tak pulang-pulang?
maka pulanglah
sebelum senja menutup usia
selagi mata mengurai bunga-bunga mekar
merambat hingga ranting ke pucuk daun
menguat pada akar
di tengah musim, saat badai melepas gelombang ke pantai
menghanyutkan perahu, membawa petaka
kukira inilah negeri maut menuliskan cerita
lalu bersimpuh menekuk lutut pasir berkerikil
merasai keganjilan terburai
di tengah nasib
bahwa kita telah lama hidup
dalam usia waktu berkelebat membuka rahasia perjalanan
menelusuri cahaya demi cahaya
mengenangkan percakapan
di tengah takdir paling sunyi
dan paling batu dari makna nasibmu
Medan, 2006
Lelaki dan Sebilah Pisau
bau tubuh yang garang dengan sebilah pisau di pinggang
mengukir makna tanah makam
“mainkanlah kisah para nabi” kataku menikam perut bumi
perahu nuh merayapkan sepasang belatung
kunang kunang menerbangkan cahaya
di tengah antara dinding dan lorong panjang
lelaki berambut ikal bertubuh kurus
dengan apakah kau tuliskan kisah malin kundang dan joko tingkir
sedang langit hitam langit menyempit udara pengap
setelah empat puluh tahun tubuh rapuh tak bertenaga
lelaki aneh dengan sebilah pisau di pinggang
tak peduli tempat berteduh
sekedar hinggap atau melepas lelah.
angan-angan melantunkan nyanyi pilu yang panjang
tidak jelas suaranya
selain desir angin di daun
memberi kabar tentang tangis anak istri
suara kesiasiaankah yang datang dan pergi?
“sesulit apakah menjadi pemain sandiwara
mestikah kumainkan kisah para nabi” katamu
“apa yang tak ada padaku – ada padamu.
yang tidak ada padamu – ada padaku
kita saling mengisi memenuhi kebutuhan
mempertahankan hidup tenggelam dalam lamunan
menyesalkah?
ah barangkali tidak” kataku
ladang di tanah petak persegi panjang
di tengahnya gundukan pasir membentuk bukit
menanam ubi habis dijarah puluhan pemain sandiwara lain
hidup yang tak lebih sama
menjadi melata dengan taring yang panjang
tenang seperti tanpa dosa tanpa beban
memamah rakus ubi-ubi yang kutanam
hidup menggantung di pundak orang lain
begitu tidak peduli, merambah hutan
sampai perut menggelembung seperti perempuan bunting
masuk angin ataukah kenyang sebenarnya kenyang
dan tidak pernah saling memahami.
lelaki itu
bahkan kini menahan kutukan menjadi sebilah pisau
sementara aku tak henti mengagumi ketololan
menjadi aktor paling bejat
tak peduli dengan sebilah pisau membunuh hidup keluarga
hidup anak istri yang saban hari menanti beras dan ikan
bertahan hidup selamanya atau memilih mati
demi memenuhi ambisi suami.
2007
Mengenangmu
tak ada batas ujung sepanjang pandang - selain labuh tanker
jiwa kering telentang mengejang”
menyisir bakau pulau kecil, tambang timah dan ladang minyak
dikikis matahari melengkung, rapuh dibelah beratus lorong
amuk dan kapak puluhan tahun membelah tanpa lelah
badai tercipta dari daun berguguran
air mengalir ke semenanjung
di semenanjung manapun kita melabuh menjelma segala riuh
jika riuh serisau tanah riau apatah hendak hentikan tangis
lalu bandar menjadi makam menembus dinding rahim
makam yang memanjang dari hulu ke hilir
ke muara mana ia berhenti kesetiap risau sepilu perempuan
menanti suami membawa seikat kembang pewangi
angin bertiup menggali kubur yang panjang
setengah telanjang dada lelaki berkeringat menggulung gelombang
dalam sekejab membentuk laut garang
merangkai kemudi patah ditelan ombak petang
mengigaukan amarah karena kegersangan tanah pusaka
pohon dan air kecoklatan meraungkan tangis di ujung bukit
bau amis dan udara yang tipis
kampung yang tak pernah rampung menulis kisah paling resah
tanah yang kejang sepanjang debar dirundung gelisah
“mestikah memenung di tepian sungai
menyerah sebelum ajal memanggil pulang
lalu rubuh tengkurap di pusaran arus
nikmati muara mengalirkan limbah berwarna air kecoklatan
menghapus rindu pada laut” kataku
mestinya ibu berhenti mengeja huruf dari kegamangan petuah para datuk
karena di sungai menggelepar anak ikan tertikam begitu dalam
kampung yang lengang kehilangan sejarah bersama adab yang terkikis
mengenang sebatang pohon diukir wajah sembilan wali
raja tanpa tahta dan mahkota tanpa janggut dan keris sakti
di pedalaman lelaki tua memungut kerinduan
dihanyutkan arus sungai ke muara terlunta-lunta
semacam jejak kehitaman menyapu kabut di bukit
makin berbaris makin habis
“di bukit mana tersiar kabar dengan raung halilintar
angin menggulung akar pohon
sekalipun tanah kelahiran dilindung mantra segala doa
hidup akan semakin singkat saja”
sesingkat riau kehilangan kecipak air - minyak bumi dan rimbun pohon
untuk hidup dengan semestinya di jalan setapak penuh embun menenun lamun
saban hari ketika pulang dan pergi menggantungkan lampu waktu subuh
pada pohon berbaris memanjang ke belakang
sepanjang gugusan lembah – tanah merekah
tubuh melayang terbang menjelang sembahyang
diamuk cuaca saat azan tiba
sesingkat itu
kukenang tubuhmu sepanjang badai dan hujan
Batam, 2007
Pertikaian Tanah Deli
kering dan cemas
mengayuh perahu ke samudera
tak jelas arah dan batas
memburu ladang pertikaian
medan yang tak pernah bangun
disesaki perantau sepanjang tahun
barisan pelayat tanpa suara
berpantun pantun syair melayu
saling mendekap berharap
tak ada yang dapat mencatat
kota bagai tubuh ditenung segala dewa
kubur menganga ditunggui pedang pancung
raja dan datuk tak berdaya
hidup di kepung amarah
dikebiri sampai wajah pucat pasi
bangsawan melata melilit batang jati
rawa dangkal menghibur tulang belulang
tertanam setengah tubuh
dicekik laskar revolusi
di tanah deli pertikaian tak henti
guru patimpus meratapi sungai deli dan babura
medan putri di tanah wakaf, menjadi asing menjadi melata
menjadi selembar sajak
sejak kamboja di batu cadas
menyimpan segara riuh
segemuruh napas pertarungan
memandang istana tanpa tahta dan singgasana
geram meradang dalam pikiran
menunggu angin laut cina selatan
lalu tubuh dibayangi legenda purba
jatuh dari angkasa
seperti burung jatuh
arwah terbang dan melayang
mata mengambang
pandangan terlunta jauh mengembara
sampai tak menemukan kata
wajah kerut didetak waktu
membuka jendela membiru
dijemput takdir jejak tubuh
menghiba
meremas dada
mengharap nasib baik
gemuruh tubuh membentuk cakram
cahaya menampar sudut kota
menunggu waktu berubah
waktu pintu terbuka
segala yang tampak melayang di udara
saling tidak mengenali tanah kelahiran
semakin jauh tertikam semakin dalam terbenam
Medan, 2007
Perburuan Rumahitam
puluhan pasang bayangan karam
tenggelam ke dasar laut
sampai dilumpur paling dalam
tak menemukan apa-apa
seanyir nafas perempuan
tubuh mengawang dibawa angin
selalu jalang selalu tak ingin pulang
dihanyut gelombang memabukkan
selain ranting mengering
daun gugur ke rahim tanah
mendongeng kisah mata air
mengikis wajah kemerahan
perjalanan yang panjang
mengukir jalan berliku bersimpang
dihempang ranting dan batang pohon
akar menunjang kedalaman
sepanjang bentangan jalan
perempuan merenda pertumbuhan
deru angin membawa hujan
lalu geram mengusik rumahitam
sehabis gumam
pertarungan memangsa desah percintaan
lonceng berdentang dua belas kali
perburuan pun dimulai
setajam pedang hang nadim
waktu mencengkram
dosa dibenci anak-anak sorga
Batam, 2007
Lintasan Waktu, Sedingin Hawa Jogja
udara basah
sepanjang lamun dihias kerut wajah
ditunggu waktu cahaya bulan
dicambuk senar kecapi menuntunmu
kota disapa gunung api
seperti keledai di jalanan tugu dan lempuyangan
perempuan gentayangan
berkelana dengan perantau
masih sedingin dulu
tubuh ranummu
2
air mata menjadi saluran bagi hujan
rindu pada daun pohon
batang meranggas mencari pelindung udara basah.
halilintar membelah kabut tipis
di atas bukit
aku meminangmu dengan angin
di tempat sepi bersama dingin
merayapi nafas sampai ke seberang
pulau tanpa bakau, batu cadas dan karang laut.
menatap langit kabut dan merasakan hujan
air mengguyur tubuhmu
mengalir ke samudera
3
sambil membaca bahasa tubuh
kemanakah akan kau lepas ayam betina berbulu tipis
menulis puisi sampai ke pasar, mall dan supermarket
pekik yang tercekik, melepaskan syair kesia-siaan
tidak dimengerti dan penuh misteri
aku akan selimuti tubuh dengan harum bunga
meniduri kota dilipatan hawa malioboro
menunggu daun gugur
kukecup keningmu
kau diam membisu
4
semalaman ini tubuhmu menggumam desah
melambaikan kisah masa lalu
syair pertama dibayangi nyeri kesedihanku
berpusar dari rindu kembali ke waktu mula kita bertemu
tapi kesedihanku telah membatu
seperti bukit dilalap ketandusan
hanya ada sebatang pohon tanpa daun
ranting meranggas ke batas paling ujung
menjadi purba menjadi legenda
5
yuli pipin dhian hapsari
di sudut kota ini aku tak ingin kembali
kisah lama yang pahit ditikam keris mata dewa
aku membenci suara seperti menyumpahi ketololan
entahlah dimana ketenangan dan batas kejujuran
dengus nafas seperti ketandusan padang pasir dihembus desir angin
begitu panas
begitu cemas
6
tak ingin kuketuk rumahmu karena keluguanku
meski sapa dan bisu bersatu dalam gumam rindu
seperti elang melayang di tengah laut
jaring para nelayan menuju batas yang tak jelas
di antara keberanian dan ketulusan
menantang badai melawan maut
gelombang tak takut pecah di pantai
ketololan dan keluguan menjadi cermin
7
sekali waktu kita bertemu
kau sapa diriku terburu-buru
“kapan kau pulang, jam berapa dan naik apa
kereta kencana tidak untuk dibawa bersuka ria
itu milik raja dijaga para kesatria”
kupandangi wajahmu
jauh ke dalam hati
“apa yang kau pikiri?”
medan yang lantang membawamu ke seberang
tak ada ombak dan gelombang memecah karang
tak ada sapa sekedar bercanda
hanya mata kelilipan disapu pikiran
inilah terakhir kali kita bertemu
godaan bau tubuhmu membuat iri lelaki
juga perempuan lain yang datang dan pergi
8
wajahmu membuat kisah baru
sekeras karang tak pecah karena gelombang
tapi ingin kunikmati dengan tenang
seperti malin kundang di pantai padang
sujud di pasir buritan kapal
kukecup keningmu
kau diam membisu
Yogyakarta, 2007